KOMSOS BINTARAN

KOMSOS BINTARAN

20/09/08

TEMA PESTA INTAN GEREJA BINTARAN

Rětnaning Rat Nayakaning Bawana

Manu J. Widyaseputra

Pengantar

Para Rama dan segenap umat yang berbahagia, tema yang dipilih untuk Perayaan 75 Tahun Gereja St. Yusup Bintaran tahun 2009 ( = Pesta Intan) adalah Rětnaning Rat Nayakaning Bawana. Tema ini demikian agung dan berumur panjang. Karena itu Rm. Agus dan panitia sempat mencetuskan gagasan barangkali rumusan tersebut nantinya bisa menjadi semacam sesanti yang terpateri pada bagian depan Panti Paroki setelah selesai dipugar. Untuk kepentingan kali ini panitia Pesta Intan memuat penjelasan tema secara ringkas yang disiapkan oleh Bapak Manu J. Widyaseputra, pakar sastra Jawa yang sehari-harinya menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta. Pak Manu adalah salah seorang Prodiakon Paroki Bintaran dan warga Lingkungan Don Bosco. Terima kasih Pak Manu untuk penjelasannya yang berharga. -Panitia Pesta Intan.

***
  1. Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai tataran yang berbeda. Rětnaning Rat lebih mengarah pada tataran Ilahi, sedangkan Nayakaning Bawana lebih mengarah pada tataran manusiawi.
  2. Hal itu dadasarkan pada pengertian: Rětna dalam Sěrat Ramabadra Jawi didudukkan sama dengan sūrya, ‘matahari’, yang dengan tejas-nya memberikan kehidupan kepada bumi. Tanpa adanya sūrya, bumi tidak akan pernah ada kehidupan, karena tejas matahari dapat menumbuhkan segala macam tumbuh-tumbuhan, mengatur peredaran air di bumi, memberi energi kepada semua makhluk hidup di bumi
  3. Nayaka dalam Sěrat Ramabadra Jawi menyarankan kehadiran Rama sebagai karakter yang akan berperan di bumi ini, ia tidak akan mati atau dibunuh sampai pada akhir naratif Sěrat Ramabadra Jawi. Kehadiran Rama yang semacam itu memberi pengertian bahwa Rama akan selalu hadir menembus ruang dan waktu (deśa dan kāla). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa Rama dikenal di segala macam tempat di bumi dari berbagai kurun waktu.
  4. Dalam kaitannya antara Rětna dan Nayaka dapat diperoleh pengertian bahwa kedua tataran makna itu saling berhubungan erat: sebagai Rětna, Rama berkedudukan sebagai sūrya di bumi, berarti ia memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi ini. Kalau sūrya memberi kehidupan dengan tejas, sementara Rama memberi kehidupan dengan dharma dan brata-nya. Kemudian sebagai Nayaka, Rama, yang memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi akan hadir mulai masa lalu, masa kini, dan masa mendatang di berbagai penjuru dunia. Kalau sūrya dengan tejas-nya menjadi pratistha di bumi, Rama juga menjadi pratistha di bumi ini dengan dharma dan brata-nya. Ia menopang bumi dengan kebajikan dan keteguhannya.
  5. Keberadaan Rama sebagai Rětna dan Nayaka di bumi selalu dilandasi oleh rasa, yang dinamakan karuna rasa. Ia hadir di bumi sebagai pratistha dalam suasana yang penuh keprihatinan, sekalipun anugerah yang diterimanya sangat besar dari Bathara Guru.
Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat Nayakaning Bawana

Ketika konsep Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana ini diterapkan untuk menyongsong Ulang Tahun Intan Gereja Santo Yusup Bintaran (2009), pengertian konseptual itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
  1. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai peran di dalam dua tataran kehidupan pada waktu yang bersamaan, yakni tataran Ilahi dan tataran manusiawi. Semakin tinggi nilai Ilahi semakin besar pula rasa kemanusiaannya (semakin humanis). Keduanya memang harus seimbang sehingga terjadilah harmonisasi di berbagai tataran kehidupan umat di Paroki Santo Yusup Bintaran.
  2. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat, artinya menjadi sūrya, ‘matahari’ yang dapat memberi kehidupan umat manusia dalam tataran Ilahi dan dalam tataran manusiawi. Ia memberi kehidupan dengan tejas-nya, yang dalam hal ini adalah pilar-pilar gereja: liturgi, pewartaan, communio, diakonia, martyria, managemen dan budaya. Melalui pilar-pilar itulah Gereja berperan dalam kancah kehidupan manusia secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan identitas yang dimiliki oleh umat manusia. Dalam konteks ini paling tidak umat yang ada di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.
  3. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Nayakaning Bawana, artinya hadir di sepanjang waktu: masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Ia tidak akan mati atau berakhir dalam menembus ruang dan waktu, sekalipun pada masa kini terjadi budaya global yang lebih menekankan pada kehidupan materialistik. Sebagai nayaka Gereja Santo Yusup Bintaran memauli tejas­-nya mampu melakukan proses adaptasi dan transformasi diri di dalam budaya hidup yang sekuler.
  4. Perannya sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana akan mendudukkan Gereja Santo Yusup Bintaran ini sebagai pratistha, ‘penopang, penyangga’ kehidupan umat manusia dari berbagai macam ruang (lapis-lapis masyarakat) dalam berbagai macam kurun waktu. Setiap ruang dan kurun waktu tentu memiliki karakteristik yang khas, sehingga tejas ini diharapkan mempunyai kemampuan untuk adaptasi dan transformasi demi harmonisasi. Namun tidak berarti bahwa Gereja Santo Yusup harus menjadi sekuler di era globalisasi, tetapi sebaliknya dengan tejas-nya ia “menjinakkan” gelombang globalisasi yang melanda, baik ruang maupun waktu dalam kehidupan manusia, khususnya di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.

Yogyakarta, Agustus 2008
Manu J. Widyaseputra

KAUM MUDA BINTARAN BER-EKM





Ekaristi Kaum Muda atau biasanya para kaum muda menyebutnya dengan singkatan EKM, yach… Ekaristi yang dirancang atau dibuat oleh kaum muda katolik yang memiliki jiwa muda untuk memberikan semangat muda bagi gerejanya. Tentunya bagi Gereja Bintaran yang selalu identik dan berciri khas “gereja kaum tua atau para sesepuh” (bukannya bermaksud untuk mengutarakan kejelekan atau menghina Gereja Bintaran, tetapi kita lihat dari segi rasional dan kenyataan saja), karena memang Gereja kita sudah sejak dulu kala terkenal dengan Gereja Tua atau Gerejanya orang-orang tua. Hal ini memang tidak terlepas dari historia Gereja Bintaran yang memang dibangun sebagai gereja pribumi yang pertama. Akan tetapi sebenarnya hal ini sungguh lucu, trendmark itu seolah-olah menjadi momok bagi kita sampai sekarang. Karena apa? Bagaimana Bintaran akan disebut gereja “Kaum Muda” kalau kaum mudanya sendiri tidak mau ke Gereja Bintaran dengan berbagai alasan. Padahal sebenarnya Gereja tidak mempunyai sekat yang tegas, gereja bersifat universal bukan milik satu golongan (tua, muda, anak-anak) akan tetapi gereja menjadi pemersatu semua golongan dan semua perbedaan.


Di tahun 2008 ini Gereja Bintaran sudah mulai bangkit kaum mudanya (tentu saja tidak mengesampingkan sejarah ke-suksesan para mudika terdahulu) untuk melayani Tuhan dan berkarya di Gereja yaitu salah satunya dengan mempersembahkan sebuah Ekaristi Kaum Muda yang bertepatan juga dengan Ulang Tahun Bangsa Indonesia yang ke-63 sekaligus mengucap syukur atas Kemerdekaan Bangsa kita, sehingga persiapan yang dilakukan kemarin betul-betul matang dan penuh semangat. Ya…akhirnya Gereja Santo Yusup Bintaran masih memiliki orang-orang muda yang berjiwa muda dan mampu untuk melayani Tuhan dengan tulus dan ikhlas di Gereja mereka sendiri, mereka juga mau berkarya menanam “biji sawi” di ladangnya sendiri.


Dengan memberikan karya mereka dengan bentuk Ekaristi Kaum Muda yang sudah dilaksanakan pada hari Minggu 17 Agustus 2008 yang lalu, membuktikan bahwa kaum muda katolik di Paroki Santo Yusup Bintaran masih aktif dan Gereja Bintaran tidak hanya untuk para kaum tua saja namun para kaum mudanya pun bisa dan mau terlibat dalam suatu Ekaristi.


Ekaristi yang dilaksanakan kemarin berjalan dengan lancar, meskipun ada kekurangan-kekurangan pada persiapan yang dilakukan panitia sebelum hari pelaksanaannya namun pada akhirnya sangat bagus. Dari diskusi singkat dengan Romo Tejo tentang EKM lalu, beliau mengatakan kalau EKM nya sangat bagus dan berjalan sukses. Tapi ketika monolog dimulai (waktu itu acaranya sebelum berkat penutup dari Romo) semua umat belum ada yang beranjak dari kursi Gereja, antusias umat untuk melihat ending serta kesimpulan dari EKM tersebut sangat besar. Sehingga ketika monolog selesai dibacakan atau dibawakan oleh Mas Andre, ada beberapa umat yang meninggalkan Gereja alias pulang padahal setelah Monolog ada berkat penutup dari Romo. Dan itulah yang disesalkan oleh Romo ‘mengapa umat langsung pulang setelah monolog selesai dibacakan?’ Perkataan Romo tersebut menjadikan Pekerjaan Rumah bagi panitia terutama Sie Acara, sehingga kejadian tersebut menjadikan kami sebagai pelajaran untuk ke depannya.


Sedikit catatan dari drama yang diperankan oleh teman-teman kaum muda,yaitu tentang suara dan vocal mereka yang kurang jelas terdengar oleh para umat serta yang ingin mendengarkan isi dari percakapan mereka ketika mereka berkumpul sambil ngobrol. Bahkan salah satu umat ada yang berkomentar (waktu itu saya tidak sengaja mendengarkan) ‘mereka ngomong apa, kok hanya terdengar krusuk-krusuk atau gremeng-gremeng aja?’ Memang disadari bahwa dalam hal teknis EKM kemarin memang belum memadai, segala usaha dan daya juga sudah diusahakan oleh panitia termasuk memasang LCD agar umat paham dan mengetahui alur dari EKM, namun pada kenyataannya masih kurang sempurna.


Catatan selanjutnya, tentang kepanitiaan yang mungkin boleh dibilang masih butuh banyak belajar. Salah satunya masih kurangnya koordinasi baik dari koordinator kepada masing-masing sie ataupun sebaliknya. Padahal koordinasi menjadi syarat penting dalam setiap kepanitiaan untuk suksesnya kegiatan. Memang itu semua perlu keterbukaan hati untuk mau belajar dan menerima masukan dari orang lain. Terlebih apabila mendapat posisi sebagai koordinator. Perlu perjuangan yang lebih keras karena menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam kegiatan serta harus memahami cara kerja kepanitiaan, koordinasi lintas seksi, dan benar-benar tahu apa yang harus dikerjakan dan harus dilaksanakan sesuai dengan skala prioritas agar secara urut dan persiapan sampai pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar dan terprogram. Hal ini tentu saja harus didukung oleh anggota kepanitiaan yang lain dengan men-suport secara total. Kalau boleh dibilang sebuah kepanitiaan ibarat sebuah kapal. Di dalam kapal harus ada nahkoda yang handal yang mampu memegang kendali kapal yang didukung para awak yang handal yang siap sedia bekerja sama dengan nahkoda. Apabila nahkoda tidak bisa bekerja sama dengan para awak atau sebaliknya maka kapal itu akan berlayar dengan terseok-seok atau bahkan bisa karam diterjang badai.


Ini mungkin hanya tanggapan pribadi dan bukan evaluasi sepihak, tetapi hal ini sekiranya dapat menjadi permenungan bagi kita untuk kedepannya dalam setiap kepanitiaan kita harus siap menjadi nahkoda atau awak, serta siap dan terbuka menerima kritik dan saran serta mau banyak belajar.


Di balik ketidaksempurnaan kami dalam merancang, menciptakan ide, maupun melaksanakan EKM tersebut, ada suatu kebanggaan atau kebahagiaan tersendiri bagi kami, selaku Panitia EKM beserta seluruh komunitas yang terlibat. Kami bangga dan senang karena umat yang hadir cukup banyak sehingga membuat Ekaristi semakin meriah, khususnya ba-gi kaum muda yang merasa harkat dan martabat sebagai orang muda yang memiliki kreatifitas cukup tinggi terangkat dan merasa dihargai sebagai umat Gereja Bintaran. Melayani Gereja serta berperan aktif dalam karya Tuhan Yesus kaum muda katolik yang berada di wilayah Paroki Bintaran memiliki jiwa semangat yang tinggi, para kaum muda sangat bersemangat dan serius dalam melayani Gereja. Apalagi dengan adanya EKM kemarin, kaum muda menjadi lebih semangat dalam melayani Gereja. Namun tidak hanya EKM para kaum muda bersemangat dan berperan aktif tetapi juga harus mampu terlibat aktif dalam Misa Ekaristi harian yang diadakan oleh Gereja Bintaran sehingga Dewan Paroki, Romo maupun umat yang sebagian kaum tua bisa melihat dan merasakan bahwa Gereja Bintaran mempunyai anak-anak muda ternyata “tidak mati”. Tidak hanya memiliki embel-embel atau berstatus sebagai MUDIKA BINTARAN tetapi juga memiliki kualitas dan kuantitas di dalam jiwa MUDIKA, yang bermutu kreatifitasnya dan “kembali hidup” untuk melayani Gereja.


Terakhir dari tulisan ini adalah harapan-harapan setelah kaum muda Bintaran ber-EKM adalah:
  • Agar kaum muda memiliki semangat yang lebih dalam melayani Gereja terutama dalam karya Tuhan Yesus melalui Gereja.
  • Agar kaum muda semakin menyadari akan kesempatan-kesempatan terus menerus yang diberikan oleh gereja untuk karya-karyanya.
  • Agar semakin tercipta kerjasama yang baik antar komunitas dan antar bidang.
  • Agar dapat melebur egoisme dan kepentingan pribadi, dan semakin terbuka untuk menerima kritik dan saran serta mau terus belajar untuk hal yang lebih baik.
  • Jangan pernah menyerah dan takut apabila ada kendala dan situasi tidak menyenangkan, TETAP SEMANGAT DALAM MELAYANI TUHAN.
  • Tahun depan (tahun 2009) adalah tahunnya kaum muda, semoga EKM menjadi batu pijakan untuk menyongsong tahunnya kaum muda dengan berkegiatan yang positif dan bermutu, terlebih tahun 2009 gereja kita juga merayakan pesta intan 75 tahun yang tentu saja membutuhkan peran serta dan keterlibatan kaum muda dalam setiap kegiatan.



Tuhan memberkati,
Ursula Nadia
(Mudika Lingkungan Emmanuel)

KITA DIUTUS MENJADI GARAM DUNIA


Garam akan bermanfaat jika dia telah meleburkan diri ke dalam sebuah masakan. Dengan kuantitas yang hanya sedikit namun dengan takaran yang pas, garam akan melezatkan masakan. Garam tidak akan bermanfaat jika dia terus-menerus hanya menggumpalkan dirinya dan terbuai kenyamanan dalam kebersamaan dengan komunitasnya terlebih jika malah terbuai angan-angan akan manfaat yang nantinya dia berikan bagi sebuah masakan.

Begitu juga dengan Gereja, dengan menyadari bahwa hidup di tengah masyarakat mengemban tugas perutusan dari Allah untuk sanggup menjadi garam bagi dunia maka Gereja juga harus sanggup meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat untuk menyebarkan nilai-nilai Kristiani sehingga dapat tercipta citarasa baru bagi lezatnya kehidupan masyarakat sekitar kita. Sebagai garam yang lebur di dalam masakan tentu akan mengingkari kebiasaan banyak orang yang selalu ingin dipuji sebagai sosok yang berjasa, namun demikian kita tetap harus bisa menciptakan masakan yang lezat. Dengan berusaha lebih mendalami ajaran-ajaran Kristus dan memahami setiap tugas yang kita emban dalam kehidupan bermasyarakat niscaya kita akan dapat melihat dengan jernih bahwa kini bukan saatnya lagi kita berbangga diri jika hanya sanggup menggumpalkan diri dalam komunitas-komunitas intern gereja.

Nostalgia-nostalgia akan banyaknya umat yang aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja beberapa waktu lalu tentu bukan menjadi alasan untuk melahirkan penyesalan jika saat ini umat terlebih kaum mudanya tidak begitu hobi untuk berkegiatan dalam lingkup intern gereja. Penyesalan-penyesalan tiada guna jika hanya berhenti pada pemban-dingan sebuah fenomena dalam kacamata masa yang berbeda tanpa adanya koreksi guna perbaikan ke depan. Zaman telah berubah dan menurut Rm. Agus, kegiatan kegerejaan hanyalah satu di antara sekian banyak (kegiatan) yang seringkali jauh lebih menarik dan “mengembangkan”. Namun demikian jika Gereja mau dan mampu membenahi diri maka keprihatinan Rm. Tom Jacob, SJ akan fenomena yang dialami Gereja di Belanda yang seakan semakin ditinggalkan umatnya tidak lagi terjadi minimal tidak dialami Gereja di Indonesia khususnya Gereja St. Yusuf Bintaran Yogyakarta.

Gereja tentu menyadari bahwa dalam menjalani hidup ini umat mengemban tugas yang beraneka macam dan tidak hanya berhenti pada kegiatan-kegiatan di sekitar altar gereja sehingga pola penggembalaan umat dimana kegiatan di sekitar altar gereja yang dijadikan tolak ukur keberhasilannya sekiranya pantas dipertimbangkan kembali. Komunitas-komunitas yang ada saat ini memang masih cukup relevan sebagai sarana penggembalaan. Namun, Gereja juga harus berani masuk lebih dalam lagi guna melakukan pendampingan pada komunitas­-komunitas umat dengan lebih mendasarkan pada FUNGSI atau tugas yang diemban umat dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak sebatas tugas yang diemban dalam kegiatan­-kegiatan di sekitar altar atau bahkan sebatas pendampingan berdasarkan kategorial umat yang terhimpun dalam sebuah komunitas seperti yang banyak terjadi saat ini, misalnya dengan mendirikan komunitas anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak, ibu-ibu, dan lain sebagainya tanpa menyentuh sama sekali tugas yang diemban umat selain keikutsertaannya secara aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekitar altar. Kini Gereja harus lebih mengefektifkan pendampingan pada komunitas-komunitas FUNGSI seperti komunitas pelajar, mahasiswa, karyawan, seniman, petani, pedagang dan lain sebagainya sehingga umat yang didampingi dapat menjalankan tugas yang diemban di tengah masyarakatnya sesuai dengan nilai-nilai kristiani. Namun demikian Gereja harus membatasi diri hanya dalam penanaman spritualitas tanpa harus masuk ke dalam areal praksis karena akan lebih efektif jika areal praksis ditangani lembaga lain yang lebih berkompeten. Dari sini diharapkan pelaksanaan tugas yang diemban umat yang tentu saja sesuai dengan nilai-nilai kristiani akan membuat kehidupan di sekitarnya lebih lezat walau tanpa harus menonjolkan kekristenannya. Alangkah indahnya jika nilai-nilai kristiani dapat dicerna masyarakat dengan memperhatikan karya kita di tengah mereka tanpa harus kita tonjolkan baju kekristenan yang kita pakai yang terkadang malah mengisolir kita.

Untuk mengerti tugas yang diberikan diperlukan komunikasi secara aktif dengan Sang Pemberi Tugas yaitu Allah sendiri. Hal ini dapat kita lakukan melalui doa, meditasi olah batin terlebih dengan mengikuti Perayaan Ekaristi. Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi kita juga akan lebih mendalami ajaran-ajaran Kristus melalui sabda-sabda-Nya yang kita dengarkan , terlebih kita akan menerimakan tubuh dan darah-Nya sendiri. Dan seperti seruan Imam pada Pengutusan yang mengatakan,” Marilah pergi. Kita diutus.” Di sini tentu kita sadari sebagai wujud penyatuan sikap Gereja bahwa tugas perutusan yang diberikan Allah tidak hanya berhenti dalam kegiatan di sekitar altar. Kita harus pergi guna menjalani hidup dan melaksanakan kehendak-Nya. Layaknya seorang utusan tentu kita juga harus mampu mencerminkan pribadi Sang Pemberi Utusan. Jika kita telah mampu menjalani tahapan hidup seperti ini ketika segala yang kita jalani kita sadari sebagai kehendak Allah bukan lagi kehendak kita sendiri tentu akan kita dapatkan kedamaian karena kita akan selalu mengalami peristiwa perjumpaan dan kebersamaan dengan Allah, tahap inilah Sorga dan puncak hidup orang beriman. Dari sini penulis melihat bahwa Perayaan Ekaristi akan lebih pantas menjadi dasar dan bukanlah puncak dari hidup orang beriman.

Dengan menjalani hidup yang men-dasarkan pada ajaran-ajaran Kristus seperti yang selalu kita dalami bersama terlebih saat mengikuti Perayaan Ekaristi maka umat sebagai seorang anggota Gereja tentu akan selalu rindu untuk hadir dan mengikuti secara aktif Perayaan Ekaristi yang dilaksanakan. Dengan tertanamnya kerinduan ini diharapkan mampu meminimalisir rusaknya iman Gereja oleh kencangnya arus sekularisme yang melanda dunia saat ini seperti yang ditakutkan berbagai kalangan selama ini.

Seiring dengan cepatnya perubahan zaman, Gereja diharapkan juga cepat berbenah diri, mengkoreksi, dan tidak ragu-ragu untuk lebih meluruskan pandangan dan pola penggembalaan yang sekiranya kurang bahkan tidak relevan lagi untuk tetap dipertahankan. Kita diutus Allah sebagai garam bagi dunia yang melebur namun tetap hidup dan sanggup berjuang bersama masyarakat sehingga sungguh-sungguh mampu mewujudkan “100 % GEREJA 100 % NEGARA “. AMIN.


Salam Damai Kristus
HENRICUS TEGUH MARTANTO
Lingkungan Nikolas

BERBAGI BERSAMA IBU-IBU PAROKI

Kamis, 14 Agustus 2008 jam 16.00 WIB bertempat di Ruang Yerusalem Paroki St. Yusup Bintaran dilaksanakan pertemuan rutin ibu-ibu paroki St. Yusup Bintaran. Dalam pertemuan tersebut salah satu acaranya adalah sosialisasi hasil-hasil Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang yang berlangsung pada tanggal 27-29 Juni 2008 yang lalu. Sebagai narasumber adalah utusan dari paroki Bintaran dalam Kongres Ekaristi yaitu Bapak Indri, Mas Yoyok, Mas Bowo, Mba Ucha dan Mba Tyas. Sebagai utusan dari paroki ini baru kali pertama tim ini “ditanggap” untuk berbagi buah-buah Kongres Ekaristi.

Secara singkat sosialisasi ini disampaikan oleh Bapak Indri dan dilengkapi oleh Mas Yoyok yang menjelaskan apa itu Kongres Ekaristi dan apa tujuan yang ingin dicapai setelah berkongres. Selain itu, disampaikan pula buah-buah yang didapat oleh tim di dalam keikutsertaan kongres baik refleksi yang pemahaman tentang ekaristi dari berbagai sudut pandang baik sosial, liturgis, maupun spiritual. Sebagai penekanan dan untuk memperjelas bagaimana situasi kongres saat itu, ditampilkan pula slide acara kongres dari persiapan, misa pembukaan sampai dengan misa penutup dengan diberikan penjelasan. Sosialisasi kongres ini berlangsung kurang lebih 1 jam. @Red

SADHANA BINTARAN



Apa itu. Sadhana Bintaran (Sabin)? Awalnya hanyalah teman lama yang sering nongkrong dan ngobrol di Serambi Komsos yang sampai sekarangpun masih sering ngobrol dan nongkrong di situ. Karena untuk masuk ke kelompok Mudika merasa sudah tidak wangun, ingin ke komunitas lain seperti nyanyi juga kemampuannya hanya paspas-an, maka ketika ngumpul yang dilakukan hanya ngobrol ngalor-ngidul mengingat romantisme jaman dulu.Biasalah ketika ngobrol ngalor-ngidul itu tadi biasanya orang punya keinginan dan harapan yang muluk-muluk, ingin membuat kelompok teaterlah, ingin menghidupkan lagi mudika yang vakumlah, ingin buka usahalah, atau apapun keinginan yang muncul hanya sekedar basa-basi. Kebetulan juga yang sering nongkrong di situ adalah para pemuda yang usianya sekitar 30an tahun lalu pernah muncul gagasan untuk membuat komunitas 25-35 tapi nanti dikira ikut-ikutan kemudian muncul ide membuat komunitas 25+. Tujuan utamanya ya apalagi kalau tidak mencari jodoh yang seiman. Namun, meskipun. gagasan ini pernah juga didukung oleh Pak Mardjo mengingat sekarang ini tidaklah mudah mencari pasangan hidup yang seiman sehingga kiranya kegiatan seperti itu bisa membantu kaum muda dengan menjadi jembatan menemukan pasangan hidupnya. Namun pada kenyataannya banyak kaum muda, khususnya yang berusia 25-35, malu untuk mengikuti kegiatan seperti ini. Pertama karena para Mudika yang biasanya berusia SMA dan kuliah malah sering mengejek “Kelompok bujang lapuk dan perawan lapuk” maksudnya banyak orang yang masih mengecap usia-usia seperti itu sebagai orang yang tidak laku. Tapi bisa ditanya sendiri pada me-reka bahwa mereka memilih untuk tidak pacaran dulu atau menikah dulu adalah pilihan sadar mereka karena menurut mereka itulah pilihan yang terbaik buat mereka.Sempat beredar berita bahwa kdompok yang sering ngumpul tiap Selasa malam di serambi komsos adalah komunitas 25+. Isu ini awalnya menguntungkan karena harapan kami dengan beredarnya isu tersebut akan memudahkan sosialisasi dari mulut ke mulut Tapi temyata harapan itu tidak menjadi kenyataan sebab yang ngumpul ya hanya orang-orang itu saja: Yohanes, Bayu, Agung, Anjar, dan Doni.


Malah akhirnya mereka yang masih berumur di bawah 25 tahun juga sering ikut nongkrong dan ngobrol di situ. Mereka menjadi seperti dikarbit (dewasa lebih cepat). Tapi tantangan globalisasi dengan banyaknya stasiun TV dan internet menuntut anak sekarang seperti itu yang kadang sulit diimbangi oleh orang tua sendiri. Kemudian kadang ada orang-orang baru yang datang seperti Aris dari Pugeran: Lalu dari mereka yang sering kumpul itu ingin membuat komunitas yang serius menjadi fokus kegiatan tiap Selasa malam. Kegiatan apa yang bisa dilakukan oleh semua orang yang berbeda talenta ini? Jawabannya ternyata meditasi.


Hasil dari diskusi malam itu yang menetapkan tiap Setasa malam akan diisi dengan meditasi setengah jam kemudian jika memungkinkan diadakan latihan teater namun kalau tidak memungkinkan ya diadakan sharing pengalaman. Lalu mulailah kita mencari referensi untuk meditasi dan teater. Ketika diskusi dengan Romo Tedjo, Romo mendukung kegiatan seperti itu bisa mengambil acuan reterensi dariSadhana (Buku Meditasi karangan Anthony De Mello, SJ). Setelah mempelajari sedikit buku itu kami lalu sepakat untuk menamakan kelompok meditasi selasa malam sebagai kemompok Sadhana Bintaran (Sabin).


Berdasarkan pengalaman teman-teman ternyata meditasi itu membawa pengalaman rohani yang bermacam-macam. Ketika kita mencari beberapa referensi mulai dari buku Sadhana (Anthony De Mello, 81), John Main, OSB, dan beberapa buku meditasi lain kami malah bingung sebab ternyata meditasi walaupun intinya sama tapi bisa menggunakan metode yang berbeda--beda dan untuk tujuan yang berbeda-beda pula. Maka meskipun kami memakai nama Sadhana untuk praktisnya kami menggunakan metode dari John Main, OSB karena kami rasa lebih mudah dan tidak membingungkan serta tetap setiap latihan.


Tujuan utama dari meditasi ini adalah menuju keheningan dan kesederhanaan. Ternyata untuk hening dan menjadi sederhana sangat suIit. Dari beberapa kali latihanpun teman-teman masih merasa kesulitan untuk menuju keheningan dan itu kami sadari karena tidak ada sesuatu yang instant semua harus melalui proses yang bertahap.


Sadhana Bintaran 2008

EKARISTI DALAM KITAB SUCI


Sejak awal mula Gereja telah memuliakan “roti” dan “anggur” Ekaristi sebagai benar-benar Tubuh dan Darah Yesus Kristus, karena demikianlah yang diajarkan oleh Kristus Sendiri. Tuhan Yesus tahu betapa iman yang mendalam diperlukan untuk menerima ajaran ini, jadi pertama-tama Ia mempersiapkan para murid-Nya dengan mukjizat penggandaan roti dan ikan (Mat 14:15-21). Kemudian Ia menubuatkan bahwa Ia akan memberikan daging-Nya sendiri serta darah-Nya “sebagai makanan dan minuman”. Itulah saat yang menentukan bagi banyak pengikut-Nya: “Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: `Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?’ … Mulai dari waktu itu banyak murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia” (Yoh 6:60,66). Mereka bukannya salah paham dengan-Nya; melainkan mereka benar-benar tidak mau menerima apa yang dikatakan Yesus. Meskipun begitu, Kristus tidak menawarkan penjelasan untuk memperlunak perkataan-Nya atau pun memberikan arti simbolik kepada mereka. Malahan, “Kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67).

Penetapan Ekaristi Kudus terjadi pada saat Perjamuan Malam Terakhir yang digambarkan oleh St. Matius sebagai berikut: “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: `Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.’ Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: `Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.’” (Mat 26:26-28). Peristiwa penting ini juga dicatat oleh St. Markus (Mrk 14:22-24), St. Lukas (Luk 22:17-20) dan St. Paulus (1Kor 11:23-26). Kata-kata Kristus ini sejak dahulu hingga sekarang senantiasa diterima dalam arti yang sebenarnya dan sesungguhnya oleh segenap umat Katolik.

www.indocell.net/yesaya
atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

KITAB SUCI DAN BULAN KITAB SUCI NASIONAL



Sekarang kita telah memasuki bulan September, bulan yang oleh gereja digunakan sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Bulan Kitab Suci Nasional merupakan bulan yang secara khusus digunakan untuk membahas atau mengenal lebih jauh kitab suci, melalui sarasehan-sarasehan ataupun dalam betuk lain. Dalam bulan ini baik di gereja maupun di lingkungan pasti senantiasa diperdengarkan hal-hal yang berkaitan dengan kitab suci. Ada baiknya moment bulan kitab suci ini menjadikan saat bagi kita untuk kembali mendalami kitab suci atau yang paling sederhana kita membaca, entah satu atau dua ayat. Gereja telah menerbitkan kalender liturgi setiap tahunnya yang memuat bacaan-bacaan kitab suci harian maupun mingguan yang dapat kita gunakan sebagai pedoman bagi kita untuk membaca kitab suci. Saat ini pula tepat bagi kita (tidak mengesampingkan saat-saat yang lain) untuk menjadikan kitab suci menjadi bacaan yang inspiratif bagi kehidupan kita walaupun kadangkala hal itu menjadi sesuatu yang kurang menarik. Atau paling sangat sederhana kita tengok apakah kita masih mempunyai kitab suci atau tidak dan kondisinya bagaimana (Jangan-jangan karena tidak pernah disentuh, kitab suci kita hilang entah kemana).


Pada awalnya, Hari Minggu Kitab Suci Nasional diputuskan dalam rapat Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI 1977). Namun dalam perjalanan waktu, menjadi Bulan Kitab Suci Nasional yang ditutup dengan Pesta Santo Hieronimus pada tanggal 30 September.


Sebelum kita mengulas lebih jauh tentang Bulan Kitab Suci Nasional dan kitab suci itu sendiri serta hal-hal yang berhubungan dengan kitab suci, kita mengenal lebih dahulu arti kata kitab suci. Menurut Dr. Tom Jacobs, SJ kitab suci dan alkitab sama artinya. Alkitab adalah rumusan Arab sebagaimana kelihatan dari kata “Al.” Dan “Al” maksudnya “sang.” Jadi Alkitab adalah buku yang paling luhur dan paling unggul yakni “buku suci” atau “Kitab Suci”. Yang dimaksudkan ialah seluruh buku iman kristiani, baik yang disebut Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.


Sejarah terjadinya Kitab Suci kristiani, cukup panjang. Sebab itu berarti terjadinya sejarah Perjanjian Lama, sejarah pengungkapan iman bangsa Israel, dan sejarah Perjanjian Baru, pengungkapan iman Gereja Perdana. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdiri dari aneka tulisan. Maka baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mempunyai aneka sejarah. Setiap buku atau karangan mempunyai sejarahnya tersendiri. Tetapi ciri umum sejarahnya yang terdapat dalam hampir semua tulisan itu, ialah bahwa apa yang hidup di dalam jemaat dan yang dikenal dari komunikasi iman mereka, oleh seorang pengarang tertentu kemudian dirumuskan dan dibukukan. Maka secara umum, yang berlaku tentang sejarah semua tulisan Kitab Suci ialah “dari penghayatan iman kepada pengungkapan iman,” dan kemudian “sampai kepada perumusan dan penulisan iman” itu.


Pada saat ini kita mengenal dua kitab suci yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru. Akan tetapi kedua kitab itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ini dapat dijelaskan dengan uraian bahwa Gereja Perdana dan Gereja selanjutnya menerima Perjanjian Lama sebagai buku suci juga. Gereja melihat diri sebagai lanjutan dan perkembangan umat Allah yang terwujud dalam bangsa Israel. Dalam Perjanjian Lama, umat Allah masih sangat terbatas, dalam Perjanjian Baru umat Allah terarah kepada seluruh dunia, kepada segala bangsa, kepada setiap orang. Ini adalah hubungan yang pertama, bahwa sejarah keselamatan yang dimulai oleh Allah dengan bangsa Israel berkembang terus dan mencapai kepenuhan dalam Gereja segala bangsa. Tetapi masih ada satu hubungan lagi, ialah bahwa bangsa Israel senantiasa mengharapkan hubungan yang semakin sempurna dengan Allah. Dan kesatuan Allah dengan manusia yang paling sempurna terlaksana dalam diri Yesus dari Nazaret yang oleh kebangkitan-Nya diterima dalam kemuliaan Allah. Kesatuan mulia Kristus dengan Allah adalah dasar dan awal kesatuan seluruh umat manusia dengan Allah. Sebab semua orang dipanggil untuk mengambil bagian dalam hidup Allah yang mulia.


Kita sebagai orang Katolik sangat dianjurkan untuk membaca kitab suci. Bukan hanya pada saat bulan kitab suci saja melainkan setiap saat. Bahkan walaupun kita tidak membaca secara pribadi, setiap hari firman Tuhan itu akan diperdengarkan dalam Perayaan Ekaristi baik harian maupun mingguan. Akan tetapi kadang-kadang kita kurang bisa paham dan mengerti maksud dan tujuan dari sabda itu, bahkan kita juga kadang kurang mengerti akan pentingnya membaca kitab suci. Secara teologis, sangat jelas diuraikan bahwa membaca kitab suci penting karena kitab suci adalah sabda Tuhan. Orang Katolik sering dituduh kurang menghormati kitab suci, walau sebenarnya Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja tidak berada di atas sabda Tuhan melainkan melayani-Nya. Kita menerima sabda Tuhan dalam kitab suci sama dengan sabda yang menjadi daging dalam Perayaan Ekaristi. Jawaban teologis seperti di atas meungkin terasa kering bagi banyak orang. Pengalaman atau sharing dari Raymond E, Brown, S.S mungkin bisa sedikit membantu. Alasan yang saya anggap paling penting untuk membaca kitab suci ialah: sebagai orang kristiani saya (kita) menyadari bimbingan Tuhan bagi Gereja, Kitab suci menawarkan pengalaman umat Allah yang begitu panjang. Pengalaman mencari kehendak illahi dalam berbagai situasi. Dalam kitab suci saya (kita) pasti menemukan situasi yang sama dengan situasi yang kita alami atau situasi Gereja. Bila dalam buku-buku rohani orang menemukan hubungan antara pribadi tertentu dengan Tuhan, di dalam kitab suci orang mendapati hubungan pribadi maupun kolektif yang telah dijalin selama dua ribu tahun dengan Tuhan, dalam situasi yang amat bervariasi. Salah satu daya tarik dan keistimewaan membaca kitab suci adalah bila menemukan bahwa pengalaman yang dilukiskan di dalamnya ternyata sama dengan pengalaman kita sendiri. Apa yang dahulu pernah diperbuat Tuhan, kini juga masih dijalankan-Nya.


Tulisan ini mungkin belum mencakup seluruh seluk beluk Bulan Kitab Suci Nasional atupun kitab suci. Namun, paling tidak kita sedikit mengerti tentang seluk beluk kitab suci dan bulan kitab suci, yang tentunya akan membuka cakrawala kita dan membuat kita semakin rindu kepada Tuhan lewat sabda-sabdanya. @-Red.

21/06/08

ZIARAH MUDIKA PAROKI


Minggu, 25 Mei 2008, Mudika Paroki St. Yusup Bintaran Yogyakarta mengadakan wisata ziarah ke Gua Maria Sriningisih Klaten. Berangkat dari Gereja Bintaran pukul 08.30 WIB. Mudika yang berpartisipasi cukup banyak. Untuk transportasi dengan menyewa 3 bus kota. Selain acara liturgi: doa dan jalan salib, di sana juga diadakan aneka lomba-lomba yang telah dipersiapkan oleh panitia untuk menambah keakraban mudika. @Red.

PENERIMAAN KOMUNI PERTAMA


Pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus tanggal 25 Mei 2008 jam 07.30 WIB yang lalu di Gereja St. Yusup Bin-taran bersamaan dengan Perayaan Ekaristi diteri-makan Komuni Pertama kepada 51 calon Komuni Pertama. Perayaan Ekaristi dan Penerimaan Komuni Pertama ini dipimpin oleh Romo FX. Agus Suryana Gunadi, Pr dan disema-rakkan oleh paduan suara dari Komunitas Lektor Paroki St. Yusup Bintaran dengan organis Mbak Luki.


Calon-calon penerima Komuni Pertama ini sebelumnya telah menjalani beberapa rangkaian acara sebelum menerima Komuni Pertama. Diawali dengan pelajaran agama dengan bimbingan guru agama dan katekis. Pada hari Minggu, 4 Mei 2008 bertempat di SDK Sang Timur para calon Komuni Pertama melaksanakan tes penjajagan, kemudian Minggu, 11 Mei 2008 calon Komuni Pertama dan para orang tua melaksanakan rekoleksi dengan mengambil tempat juga di SDK Sang Timur. Hari Minggu, 18 Mei 2008 jam 10.00 WIB bertempat di Gereja St. Yusup Bintaran dilaksanakan latihan pengakuan dosa, kemudian pada hari Jumat, 23 Mei 2008 jam 16.00 WIB di tempat yang sama dilaksanakan Ibadat Tobat dan Penerimaan Sakramen Tobat dilanjutkan dengan "gladi resik" penerimaan Komu-ni Pertama. Seluruh rangkain acara ini ber-tujuan agar para calon Komuni Pertama benar-benar siap untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus yang pertama.


Perayaan Ekaristi pene-rimaan Komuni Pertama diawali dengan prosesi perarakan memasuki gereja oleh Imam dan para pembantunya beserta calon Komuni Pertama. Dalam Perayaan Ekaristi ini pula dipersembahkan tari-tarian untuk menghantar persembahan dari TK Sang Timur Pakel.


Dalam homilinya Romo Agus menekankan bahwa menerima Komuni adalah sungguh saat dimana kita benar-benar menyambut Tubuh dan Darah Tuhan dalam rupa hosti dan anggur dan ini adalah yang kita (gereja) imani. Kedua adalah Ekaristi menjadi puncak dan sumber hidup dan iman kita, begitu luhur makna Ekaristi bagi kita karena pada saat itulah kita berjumpa dengan Tuhan. Maka alangkah baiknya kita dalam setiap hal yang kita alami selalu kita persembahkan dalam Ekaristi. Ketiga adalah ajakan kepada seluruh calon Komuni Pertama untuk tidak berhenti setelah menerima Komuni Pertama akan tetapi terus memupuk imannya, dalam hal ini Romo Agus mengajak bahkan meminta kesanggupan kepada calon Komuni Pertama untuk terlibat dalam wadah Putra-Putri Altar setelah mereka sambut Komuni Pertama yang nantinya akan didampingi secara "intens" dengan berbagai macam program bukan hanya sebagai pelayan di altar tetapi untuk kegiatan-kegiatan gereja yang lain. Tentu saja ini butuh dukungan dan dorongan dari para orang tua. Terakhir dari homilinya adalah semangat berbagi lima roti dan dua ikan. Inti dari hal itu adalah persembahan yang kecil akan tetapi secara tulus dan ikhlas dipersembahkan kepada Tuhan, maka akan menjadi berkat bagi orang banyak. Setelah Perayaan Ekaristi, acara dilanjutkan dengan ramah-tamah penerima Komuni Pertama dengan Romo, Dewan Paroki, Guru Agama dan tamu undangan di ruang Yerusalem Paroki Bintaran. Dalam ramah-tamah ini selain diisi dengan sambutan-sambutan, juga ditampilkan persembahan-persembahan dari para peserta Komuni Pertama yaitu tari-tarian dan nyanyian. Acara ini ditutup dengan pembagian kenangan dan sertifikat Komuni Pertama oleh panitia.@ Red

ADORASI EKARISTI MENYONGSONG KONGRES EKARISTI


Bertepatan dengan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Minggu 24-25 Mei 2008 Tim Liturgi Paroki St. Yusup Bintaran mengadakan Adorasi Ekaristi 6 jam. Adorasi ini juga merupakan salah satu kegiatan menyongsong Kongres Ekaristi Keuskupan I pada tanggal 27-29 Juni 2008 nanti.


Adorasi Ekaristi ini diawali pukul 18.00 WIB dengan pentahtaan Sakramen Mahakudus oleh Romo FX. Agus Suryana Gunadi, Pr. Selanjutnya dilakukan Adorasi Singkat oleh kelompok-kelompok lingkungan yang telah dibagi sesuai dengan jadwal masing-masing.


Dari pemantauan redaksi, Adorasi berjalan relatif lancar hanya ada sedikit kendala yang tidak berarti, salah satunya adalah pemimpin adorasi masih bingung menggunakan rumus adorasi yang mana. Akan tetapi secara keseluruhan semua berjalan lancar. Dari tingkat kehadiran umat, memang tidak sebayak seperti pada misa mingguan, walaupun sudah dijadwalkan akan tetapi sebagai awal mula dari adorasi yang panjang, tingkat kehadiran umat cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari bangku umat bagian tengah, baris depan rata-rata tiap jamnya terisi penuh umat dan yang menjadi lebih baik adalah tidak sedikit anak-anak dan remaja yang terlibat di dalam adorasi ini.


Adorasi ditutup pada pukul 23.30 oleh Romo FX. Agus Suryana Gunadi, Pr dengan pemberian berkat Sakramen Mahakudus kepada seluruh umat. Semoga Adorasi Ekristi ini bukan menjadi yang pertama dan terakhir di Gereja Bintaran, dan hanya menjadi kewajiban kita saja, akan tetapi sungguh menjadi tanda kerinduan kita kepada Tuhan yang hadir nyata dalam setiap Sakramen Mahakudus sehingga kita semakin bersatu dengan Tuhan. @Red.

BINTARAN MENYONGSONG KONGRES EKARISTI

Sebagai wujud partisipasi Gereja St. Yusup Bintaran Yogyakarta dan Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang, pada Hari Selasa Legi, 13 Mei 2008 jam 18.00 WIB. Tim Liturgi mengadakan Sosialisasi Kongres Ekaristi I Keuskupan. Sebagai narasumber adalah Bapak Joko dan Bapak Ch. Tri Harnadi. Keduanya adalah dari Tim Liturgi Kevikepan DIY.

Acara ini dihadiri kurang lebih 50 peserta dari perwakilan lingkungan, biara/komunitas, prodiakon dan Tim Liturgi Paroki.

Acara diawali oleh pengantar dari Romo FX. Agus Suryana Gunadi, Pr selaku pastor paroki. Dalam pengantarnya Romo Agus menjelaskan secara singkat apa itu Konggres Ekaristi, dan apa yang akan kita laksanakan untuk mendukungnya. Pada kesempatan ini pula Romo Agus juga menggambarkan dinamika umat Bintaran yang masih "aras-arasen" dalam beradorasi, padahal selama ini adorasi di Bintaran hanya dilaksanakan lebih kurang 30 Menit. Harapan beliau, dengan Konggres Ekaristi ini umat Bintaran semakin mencintai Ekaristi dan devosinya (Adorasi Ekaristi).

Acara dilanjutkan dengan penjelasan singkat jadwal acara Kongres Ekaristi, siapa yang terlibat dan segala aspek teknis tentang Kongres Ekaristi. Oleh Bapak Joko. Sebagai acara berikutnya adalah pemaparan secara rinci apa itu Kongres Ekaristi oleh Bapak Ch. Tri Harnadi dan apa peran serta umat paroki untuk terlibat dan mendukung Kongres Ekaristi ini. Acara ditutup pada pukul 19.30 WIB. @Red.

MENGENAL LEBIH JAUH
KONGRES EKARISTI KEUSKUPAN I
KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

APA ITU KONGRES EKARISTI?

Kongres, berasal dari bahasa Latin "congredior-congressus sum". Istilah tersebut merupakan gabungan dari kata "cum" – "gradior" (gradior-gressus sum): artinya melangkah, berjalan, pergi, maju bergerak; dengan demikian "congredior" artinya: maju bergerak bersama untuk berhimpun. Dalam kata itu terkandung adanya gerakan bersama untuk berhimpun.

Ekaristi sendiri berasal dari bahasa Yunani ευχαριστω, artinya bersyukur dan berterima kasih. Dengan pengertian tersebut Kongres Ekaristi kita artikan sebagai peristiwa umat bergerak bersama untuk berhimpun dengan tujuan bersyukur dan berterimakasih atas Allah yang telah mengasihi manusia dan seluruh dunia, yang ditandakan dalam pemberian diri Putera-Nya Yesus Kristus agar manusia dan seluruh dunia diselamatkan.

Kongres Ekaristi merupakan sebuah Devosi Ekaristi yang diwujudkan dalam bentuk pertemuan umat beriman entah di tingkat Internasional, Nasional atau lokal (keuskupan) untuk memahami, merayakan dan menghayati Ekaristi dengan segala aspeknya. Oleh karena itu dalam Kongres Ekaristi (bdk. Dokumen Eucharistiae Sacramentum art.100) hendaknya diadakan aneka macam kegiatan yang berpusat pada Ekaristi. Kegiatan itu meliputi perayaan, sidang/pertemuan, sembah sujud (adorasi) dan prosesi Sakramen Mahakudus (sejauh situasi memungkinkan).

Menurut cakupan wilayahnya Kongres Ekaristi dapat dilaksanakan secara internasional. Disebut Kongres Ekaristi Internasional, karena melibatkan umat Katolik seluruh dunia untuk berhimpun di suatu tempat. Dapat juga dilaksanakan secara nasional. Disebut Kongres Ekaristi Nasional, karena melibatkan umat Katolik dalam suatu negara. Ada juga Kongres Ekaristi lokal, disebut juga Kongres Ekaristi Keuskupan, karena melibatkan umat Katolik dalam suatu Keuskupan. Kongres Ekaristi Keuskupan inilah yang akan kami selenggarakan sebagai yang pertama di Keuskupan Agung Semarang.

Kongres Ekaristi diadakan secara meriah dan bersifat berkala ( setiap 4 tahun) dan dihadiri oleh para wakil/utusan dari Gereja-Gereja.

Untuk memfokuskan program dan acaranya, setiap Kongres Ekaristi baik di tingkat Internasional, nasional maupun lokal memiliki tema yang diangkat.

YANG MELATARBELAKANGI KONGRES EKARISTI KEUSKUPAN I KEUSKUPAN

Dinamika hidup rohani umat Katolik Keuskupan Agung Semarang sendiri yang semakin menampakkan kasihnya kepada Tuhan Yesus yang selalu memberikan diri-Nya dalam perayaan Ekaristi, yang selalu hadir dalam Sakramen Mahakudus. Tahun 2007 yang lalu ditandai dengan dimulainya Adorasi Ekaristi Abadi, suatu devosi umat untuk berjaga dan berdoa selama 24 jam sehari 7 hari seminggu. Di tengah umat muncul habitus untuk mengadakan adorasi Ekaristi pada kesempatan-kesempatan tertentu.

Umat Allah KAS bersyukur karena telah disertai dalam peziarahan iman umat Allah KAS yang telah menempuh perjalanan sejarahnya sejak tahun 1940. Tanggal 25 Juni 2008, Gereja KAS merayakan hari kelahirannya yang ke 68. Kehidupan iman umat yang tumbuh berkembang dengan subur tidak lepas dari peran serta Allah yang mengalirkan berkat dan kekuatan-Nya melalui Ekaristi dan dari peran serta para misionaris dan para tokoh umat yang terus berkarya di KAS ini.

Searah dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2006-2010 kita umat Allah Keuskupan Agung Semarang dalam bimbingan Roh Kudus ingin "semakin menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus yang mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan (bdk. Luk 4: 18–19). Mewujudkan Kerajaan Allah berarti bersahabat dengan Allah, mengangkat martabat pribadi manusia, dan melestarikan keutuhan ciptaan." Itulah roh yang menjiwai hidup dan segala kegiatan pastoral yang kami laksanakan dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan.

Umat Allah KAS juga memohon kepada Allah agar terus memberi kekuatan batin/iman untuk melanjutkan peziarahan iman dan mewujudkan karya pastoral sesuai dengan Arah Dasar KAS. Permohonon itu secara khusus diwujudkan melalui penghayatan Ekaristi dan segala devosinya.

Diselenggarakannya Kongres Ekaristi Internasional ke-49 di Quebeq Canada pada tanggal 15-22 Juni 2008, yang diadakan empat tahun sekali. Kami berharap setiap kali diselenggarakan Kongres Ekaristi Internasional, Keuskupan Agung Semarang juga menyelenggarakan Kongres Ekaristi Keuskupan I, II, dan seterusnya.

TEMA KONGRES EKARISTI INI: "BERBAGI LIMA ROTI DAN DUA IKAN",
APA MAKNANYA?

Tema Kongres Ekaristi Keuskupan I adalah "Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan", berkaitan dengan Arah Dasar juga, sesuai dengan fokus pastoral tahun 2008, yakni anak dan remaja. Ada orang mengatakan, "Satu contoh nyata lebih berdaya daripada seribu kata". Supaya anak dan remaja terlibat untuk pengembangan umat, kami tampilkan seorang tokoh anak dari Kitab Suci, yaitu seorang anak yang oleh Yohanes, penginjil itu, dikenal oleh Andreas mempunyai lima roti dan dua ikan. Dari anak tersebut kita dapat belajar makna berbagi. Persembahan tulus dari seorang anak, setelah diberkati oleh Tuhan, dapat menggerakkan hati orang banyak untuk berbagi. Peristiwa itu dikenal mukjizat pergandaan lima roti dan dua ikan. Peristiwa tersebut terjadi di Betsaida. Dan dari Betsaida terjadilah gerakan berbagi, yang berpola pada tindakan Tuhan Yesus yang memberikan diri-Nya sendiri demi keselamatan manusia dan seluruh dunia. Dari Betsaida gerakan itu meluas ke seluruh dunia, diperbarui setiap kali Ekaristi dirayakan.

APA SAJA AKTIVITAS DALAM KONGRES EKARISTI NANTI?

Aktivitas dalam Kongres Ekaristi nanti dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dari perspektif waktu: ada aktivitas sebelum Kongres, selama Kongres dan setelah Kongres.

Sebelum Kongres Ekaristi kami membicarakan gagasan rencana menyelenggarakan Kongres Ekaristi dalam Rapat Pleno Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, tanggal 8-10 Oktober 2007. Setelah disepakati kami mematangkan konsep Kongres Ekaristi itu, bersumber dari pengalaman Kongres Ekaristi yang telah diselenggarakan di negara-negara lain. Kemudian melengkapi dengan membentuk Panitia Kongres, dan kemudian mengadakan sosialisasi mengenai Kongres Ekaristi tersebut. Untuk itu diadakan suatu gerakan umat, yang kami sebut dengan "Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan", suatu gerakan solidaritas yang berbekal pada kemampuan yang ada, swadaya, melalui gerakan-gerakan sederhana dalam berbagai dimensi, yang meliputi dimensi rohani, dimensi etis-moral, serta dimensi sosial kemasyarakatan dan ekologis kosmik, searah dengan roh Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang yang dirumuskan dengan "mewujudkan Kerajaan Allah dengan bersahabat dengan Allah, mengangkat martabat pribadi manusia dan melestarikan keutuhan ciptaan".

Selama Kongres Ekaristi akan diselenggarakan berbagai aktivitas. Jumat, 27 Juni 2008: Misa Pembukaan bersama umat dan Prosesi Sakramen Mahakudus dari Gereja Ambarawa menuju Gua Maria Kerep. Sabtu, 28 Juni 2008: pertemuan/seminar para utusan paroki, komunitas, kelompok dan panggung kreasi/pentas. Minggu, 29 Juni 2008: Perayaan Puncak Ekaristi di Gua Maria Ambarawa, bersama umat. Selama Kongres berlangsung di Ambarawa kami menganjurkan umat mengadakan adorasi Ekaristi dari tanggal 27-29 Juni 2008. Diusahakan sehari atau sesuai dengan situasi tempat/paroki. Selama itu pula hendaknya diadakan penerimaan sakramen tobat. Kevikepan diharapkan mengadakan sarasehan/seminar tentang Ekaristi. Waktunya mengambil salah satu hari dari tanggal 27-29 Juni 2008.

Setelah Kongres Ekaristi diharapkan Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan dilaksanakan terus, dan bahkan dikembangkan. Misalnya persahabatan dengan Allah diupayakan dengan semakin cinta pada Ekaristi dengan merayakannya (harian dan Minggu), mengangkat martabat pribadi manusia dengan menghargai anak dan remaja, melibatkan mereka untuk pengembangan umat, melestarikan keutuhan ciptaan dengan mengembangkan upaya-upaya menghadapi bahaya pemanasan global, misalnya mendukung gerakan mengubah sampah menjadi berkah (Tema APP 2008).

SIAPA YANG DIHARAPKAN TERLIBAT?

Kongres itu merupakan perisitiwa iman umat. Maka, diharapkan seluruh umat terlibat. Karena itu, sementara diselenggarakan Kongres terjadi di Kerep Ambarawa, umat setiap paroki di wilayah Keuskupan Agung Semarang juga mengadakan aktivitas serupa sesuai dengan keadaan paroki. Kongres di Ambarawa kemungkinan akan melibatkan kurang lebih 800 orang. Peserta Kongres adalah wakil dari paroki 5 orang (2 dewasa dan 3 anak-remaja), dan beberapa wakil dari kelompok kategorial, seperti kelompok-kelompok doa, dll, serta Panitia sendiri, sesuai dengan kapasitas tempat dll.

CAPAIAN SEPERTI APA YANG DIHARAPKAN
SETELAH KONGRES EKARISTI SELESAI DILAKSANAKAN?

Setelah Kongres Ekaristi selesai dilaksanakan kami berharap umat Katolik semakin cinta Ekaristi, artinya semakin cinta Yesus yang sekarang ini pun hadir dalam hati manusia, dalam peristiwa-peristiwa dunia, tetap bekerja demi keselamatan umat manusia dan alam semesta. Dengan demikian umat Katolik menjadi berkah bagi masyarakat, terutama mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Kesaksian hidup almarhumah Bunda Teresa dari Kalkuta sangatlah mengesankan. Berkat pengalaman hidup dari Ekaristi, Bunda Teresa menjadi mampu untuk menemukan Yesus, dalam diri mereka yang disebutnya "the poorest among the poor", yang termiskin dari yang miskin.

APA YANG HARUS DISIAPKAN OLEH UMAT
MENYAMBUT ADANYA KONGRES EKARISTI INI?

Sebagai peristiwa iman umat Kongres Ekaristi ini kami harapkan menjadi "magic moment", suatu peristiwa yang sungguh mengesan bagi umat, sehingga mampu membarui hidup beriman umat. Karena itu umat kami harapkan bersedia memahami maksud Kongres Ekaristi itu dengan Gerakan Berbagi-nya. Banyak sarana dapat dimanfaatkan untuk memahami maksud itu. Bila terjadi pemahaman yang mendalam diharapkan Ekaristi semakin dicintai, dan dengan demikian kesediaan berbagi menjadi terwujud dalam berbagai bentuknya. Agar terjadi pemahaman mendalam itu kami mengajak umat untuk berdoa bagi terselenggaranya Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 27-29 Juni 2008 nanti.

18/04/08

Paguyuban Baru di Gereja St. Yusup Bintaran



Bersamaan dengan Penerimaan Sakramen Krisma pada hari Minggu, 13 April 2008 dalam Berkat Penutup, Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr juga berkenan untuk memberkati Paguyuban Gamelan. Paguyuban Gamelan ini juga masih berusia muda karena dibentuk hanya beberapa minggu sebelum Penerimaan Krisma. Paguyuban Gamelan ini juga berisi orang-orang muda dan keluarga-keluarga muda. Dalam penampilannya pada saat Penerimaan Krisma yang lalu walaupun dengan personil yang 90% masih belajar namun dapat dengan baik membawakan setiap lagu. Proficiat atas terbentuknya Paguyuban Gamelan, semoga dapat terus berkarya untuk melayani Gereja. @Tim Komsos

Mengenal Lebih Dekat ERG



Pada Perayaan Ekaristi dan Penerimaan Sakramen Krisma pada tanggal 13 April 2008 yang lalu, mungkin di antara kita bertanya-tanya. Siapa yang memakai seragam hitam kombinasi putih bertuliskan ERG (Emergency Response Groups) yang mondar-mandir pada saat acara. Apakah itu panitia? Atau apakah semacam EO (event orgenaizer)?


Jawabannya adalah : ERG adalah komunitas “bayangan” yang “independen” tidak mempunyai kepengurusan dan tidak berdiri dalam struktur kepengurusan gereja dan Dewan Paroki. Komunitas ini lahir dari ketidaksengajaan karena anggotanya sering ketemu, sering bertukar pikiran dan mempunyai kesamaan misi dan visi yaitu “Bersama, Mengabdi Dengan Sepenuh Hati”. Komunitas ini berisi orang-orang muda atau yang berjiwa muda. Setiap anggota komunitas ini mempunyai kesamaan sifat dan prinsip, yaitu “terlibat untuk hebat”. Bukan untuk hebatnya komunitas atau individu tetapi untuk hebatnya Gereja Bintaran. Komunitas ini tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja yang mau dan bersedia. Syaratnya cukup mudah, hanya cukup mau bekerja keras, mau terlibat, saling melengkapi dan mau menyediakan waktu untuk bersama mengabdi memajukan Gereja Bintaran. Bukan hanya untuk event-event tertentu saja, tetapi untuk setiap saat dimana Gereja memanggil dan membutuhkan.


Catatan berikut mungkin bisa sedikit membantu untuk mengenal lebih jauh Komunitas ERG. Dalam kesempatan kunjungan Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr, sebelum acara wawanhati, di ruang makan pasturan Bapak Uskup bertanya kepada salah dua yang memakai seragam ERG yang kebetulan ada di tempat itu. “ERG niku napa mas?” Pertanyaan yang sesungguhnya membuat bingung, akan tetapi Romo Agus menjawab pada kesempatan itu, ERG itu adalah tukang “tambal sulame” Bintaran, jadi setiap ada event-event atau apa saja di Bintaran ERG ini memikirkan dan membantu hal-hal yang belum terpikirkan. Memang benar, komunitas ERG ini selalu berusaha membantu kelancaran setiap acara di paroki sehingga semua dapat berjalan lancar, bukan mengharap apa-apa namun kembali bahwa niat komunitas ini adalah mengabdi dengan sepenuh hati, jadi dalam setiap event kita berusaha “menambal sulam” dengan talenta yang kita miliki, apa-apa yang belum disentuh karena memang keterbatasan. Semua itu bukan maksud ingin menonjolkan diri dan komunitas, akan tetapi semua itu demi kelancaran dan sukses bersama.


Dalam pendanaan Komunitas ini lepas dari Gereja ataupun Dewan Paroki, setiap membutuhkan dana baik untuk sragam, refresing dan lain-lain, komunitas ini ikut berpartisipasi dalam tugas parkir dan jaga panduan di gereja. Hasil dari kegiatan-kegiatan itulah yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan dan pendanaan ERG. Selain itu ada beberapa donatur yang membantu pendanaan komunitas ini, secara khusus pada saat-saat tertentu.


Sedikit catatan di atas mungkin bisa membantu kita untuk mengenal lebih dekat Komunitas ERG yang selama ini mungkin membuat penasaran hati kita. Akhirnya Semoga Tuhan senantiasa memberkati niat kami untuk bersama, mengabdi dengan sepenuh hati. @ERG.

Wawanhati Bersama Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr



Dari serangkaian kunjungan Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr di Gereja St. Yusup Bintaran diakhiri dengan wawanhati dengan perwakilan umat dan lingkungan, komunitas-komunitas serta paguyuban-paguyuban umat di Paroki Bintaran. Pada wawanhati ini selain mendengarkan “pangandikan” dari Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr yang diantaranya menyangkut topik tentang kemiskinan, sosial budaya, sejarah dan kerukunan antar umat beragama juga diadakan dialog “tanya jawab”. Salah satu penanya dalam forum ini mengemukakan mengenai dunia pendidikan, secara khusus mengenai mahalnya biaya sekolah. Dalam tanggapannya Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr berkata “saya memahami dan tahu segala kesulitan dan kendala yang dihadapi umat dalam dunia pendidikan, akan tetapi saya juga tidak tahu cara dan bagaimana mengatasi masalah itu.” Dalam penjelasannya Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr mengatakan bahwa masalah pendidikan bukan semata-mata masalah Gereja, akan tetapi itu merupakan tanggung jawab negara yang telah menarik pajak dari rakyat yang sesungguhnya harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat salah satunya pendidikan. Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr juga menyampaikan bahwa sekolah-sekolah Katolik mau tidak mau harus menarik biaya yang mahal dikarenakan selama ini hampir seluruh yayasan-yayasan Katolik setiap tahunnya mengalami defisit yang cukup besar, karena sekolah-sekolah katolik menerapkan subsidi silang untuk membantu sekolah-sekolah di daerah yang perekonomiannya jauh dari kita. Pada akhirnyalah kita yang boleh dianggap “ekonomi lebih mapan” (tidak semuanya) membayar biaya pendidikan lebih mahal.
Dalam diskusi ini pula Bapak Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr menyampaikan asal mula Santo Yusup digunakan sebagai pelindung Gereja Bintaran. Menurut beliau pemberian Santo Yusup sebagai nama pelindung Gereja bintaran tidak bisa lepas dari sejarah, dimana Gereja Bintaran ini merupakan Gereja Jawa yang pertama. Sedangkan dalam tradisi jawa, orang jawa itu bekerja, berprilaku menurut titah. Pada jaman dahulu orang jawa sering berkumpul di alun-alun untuk mendengarkan perintah (titah) dari Sultan, setelah mendengarkan titah itu mereka baru mulai bekerja atau memulai langkah. Begitu pula dengan Santo Yusup, dia adalah orang yang selalu menuruti titah, ini jelas digambarkan dalam Kitab Suci, bahwa ketika Santo Yusup akan menceraikan Maria, ia mendapatkan titah (wangsit) dari malaikat untuk tidak menceraikan Maria. Akhirnya Santo Yusup tidak jadi menceraikan Maria, begitu pula ketika ia harus mengungsi ke Mesir, ia juga mendapat petujuk dari mimpi. Dari sifat-sifat itulah maka Santo Yusup dipilih untuk menjadi pelindung Gereja Bintaran. Acara ini dihadiri kurang lebih 240 umat dan ditutup pada jam 13.00 WIB. @Tim Komsos.

Pesta Umat, Gereja St. Yusup Bintaran



Pada hari Minggu, 13 April 2008, setelah Perayaan Ekaristi dan Penerimaan Sakramen Krisma di halaman depan Gereja diadakan pesta umat sebagai wujud syukur atas penerimaan Sakramen Krisma dan atas kunjungan Gembala Gereja, Bapak Uskup.


Moment ini juga sebagai sarana umat untuk dapat berinteraksi langsung dengan Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. Ignasius Suharyo, Pr. Pesta umat ini melibatkan seluruh lingkungan di Paroki St. Yusup Bintaran yaitu dengan membawa makanan kecil untuk disajikan bersama dan dinikmati bersama-sama. @Tim Komsos.

Penerimaan Krisma di Gereja St. Yusup Bintaran



Pada hari Minggu tanggal 13 April bertepatan dengan hari Minggu Paskah ke IV dan Hari Minggu Panggilan, di Gereja St. Yusup Bintaran diterimakan sakramen Krisma dari tangan Mgr. Ignasius Suharyo, Pr Uskup Agung Semarang sebanyak 60 krismawan-krismawati. Perayaan Ekaristi yang dihadiri kurang lebih 1000 umat, dipimpin Selebran Utama Bapak Uskup dan Imam pendamping : Romo FX. Agus Suryana Gunadi, Pr, Romo Ag. Tejo Kusumantono, Pr dan Romo M. Soegita, Pr.

Perayaan Ekaristi ini bernuansakan jawa, dengan diiringi gamelan dan seluruh petugas tata laksana memaki pakaian “kejawen”. Hal ini semakin menggaris bawahi bahwa Gereja St. Yusup Bintaran merupakan gereja yang berarsitektur Eropa tetapi juga merupakan gereja “jawa” (pribumi) yang pertama. Akhirnya prificiat atas diterimakannya Sakramen Krisma, semoga berkat karunia Roh Kudus Anda semakin berani menjadi saksi-saksi Kristus. @Tim Komsos.

18/01/08



Natal dan Kedamaian Lingkungan
Mgr. AM. Sutristnaatmaka, MSF


Rasanya kurang lengkap jika merayakan Natal tanpa hiasan pohon natal, palungan dalam goa, dan lampu-lampu. Dalam merayakan Natal, di mana pun, pernik-pernik itu tak pernah absen.
Pertanyaannya, apakah perayaan Natal bisa juga mengajak kita untuk berefleksi tentang makna iman yang menyentuh kedamaian lingkungan?


Dua ciri khas
Pohon Natal serta palungan dan kandang merupakan dua ciri khas penanda kelahiran Yesus. Tradisi pohon Natal konon dihubungkan dengan “Sandiwara Firdaus” yang sejak Abad Pertengahan dipentaskan di muka pintu gereja. Sejenis cemara dengan pelbagai hiasan itu layak ditampilkan karena pada musim dingin tetap hijau, menjadi simbol kehidupan; sementara pohon-pohon lain gugur daunnya, seirama dengan musim yang sedang berlangsung.


Palungan di kandang Betlehem merupakan ungkapan devosional, didasarkan Injil Lukas 2:6-20. Santo Fransiskus Asisi, pembela kaum miskin, pendendang “Kidung Matahari” amat menaruh perhatian pada satwa dan tetumbuhan. Dalam tradisi sesudahnya muncul doa, Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.


Paus Honorius III tahun 1223 memberikan izin kepada Fransiskus untuk menggambarkan misteri penjelmaan dengan menggunakan palungan, patung bayi Yesus, Maria, danYusuf, dilengkapi malaikat, gembala, domba, dan lainnya. Itulah kelengkapan perayaan peristiwa Natal, kelahiran Yesus dalam sejarah manusia.


Perayaan Natal juga menyentuh kedamaian lingkungan manakala dua ciri secara mendalam disadari maknanya. Sementara di sudut dunia lain terjadi peristiwa kelahiran “seorang bayi dibungkus lampin, terbaring di palungan,” dan di surga terdengar nyanyian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:12-14).


Lingkungan rusak
Salah satu masalah besar negara kita adalah merosotnya kualitas lingkungan hidup akibat meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta banyaknya bencana. Hal ini ditegaskan dalam laporan “STATUS Lingkungan Hidup Indonesia” yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Rusaknya lingkungan menjadi tanda tidak adanya kedamaian manusia dengan lingkungannya.


Perhelatan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali menegaskan status kerusakan lingkungan di tingkat internasional. Kian disadari, perubahan iklim berdampak menyengsarakan penduduk dunia. Tidak mengherankan, ketika musim hujan datang, banjir dan tanah longsor mengancam; ketika kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak tempat. Pelbagai usaha dilakukan untuk mencari sebab terjadinya perubahan iklim. Juga dipikirkan cara penanggulangannya meski hasilnya masih perlu ditunggu.


Setelah krisis beruntun, berbagai bencana muncul karena kerusakan lingkungan dan baru disadari perlunya memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Alam dieksploitasi dengan serakah sebagai bahan produksi, tanpa memperhatikan ekosistem. Solusinya, antara lain, dengan green production, produksi ramah lingkungan.


Namun, perusakan lingkungan terus berlangsung. Kasus pembalakan liar, pembabatan dan pembakaran hutan, menjadi pemicu rusaknya “paru-paru” dunia. Penambangan menghasilkan limbah beracun yang mencemari air sungai, dan menimbulkan perbagai macam penyakit. Bencana alam yang silih berganti: gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api, badai dan angin ribut, berdampak besar bagi lingkungan hidup. Air laut pasang pun menunjukkan dampak pemanasan global.


Kedamaian lingkungan
Perayaan Natal merupakan ungkapan sekaligus perwujudkan iman akan kasih Allah untuk umat manusia. Namun, jika iman masih direfleksi sebatas hubungan manusia dengan Tuhan, dan tak membawa serta orang beriman untuk melibatkan hidup sehari-hari termasuk di dalamnya alam sekitar dan lingkungan, maka manusia akan terperangkap dalam kesulitan yang kian besar. Memisahkan ungkapan iman dalam perayaan ibadat dan perwujudan nyata untuk sesama dan lingkungan tak lagi merupakan penghayatan dan pengamalan iman yang utuh dan lengkap.


Tepatlah bahwa perayaan Natal disertai bakti sosial, kunjungan ke penjara, panti asuhan, tempat pengungsian, dan lainnya. Itulah perwujudan kasih Allah dalam program kedatangan dan karya Yesus: “...Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin ...memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan orang-orang buta, membebaskan orang tertindas ...” (Lukas 4:18-19).


Perlu ditambahkan, dalam konteks zaman sekarang, refleksi iman (teologi) berkembang menjangkau kawasan lingkungan hidup. Jika kedamaian lingkungan terusik dan menimbulkan pemanasan global yang menyengsarakan, maka mata iman selayaknya tertuju kepada pemberitaan kabar baik tentang kedamaian lingkungan dan pembebasannya dari kerusakannya. Kita diingatkan pada kisah penciptaan, ketika segala sesuatu baru diciptakan Tuhan: tumbuh-tumbuhan berbiji, pohon-pohon, hewan, manusia, dan “semua itu sungguh amat baik adanya” (Kejadian 1-2).


Menciptakan harmoni kehidupan yang menyentuh semua unsurnya menjadi urusan tiap orang beriman dari semua agama. Kedamaian lingkungan menjadi keprihatinan dan kerinduan semua orang yang berkehendak baik. Perayaan Natal bisa menjadi momen pembangkit kesadaran untuk berusaha memperbaiki lingkungan dari kerusakannya; sekaligus memberi pengharapan bahwa Allah yang penuh kasih tak akan menyia-nyiakan usaha manusia. Natal bisa memperbarui visi-misi umat beriman untuk mengungkapkan imannya akan Tuhan dengan meningkatkan martabat manusia dan mengusahakan kedamaian lingkungan. Partisipasi dalam penanaman dan pemeliharaan pohon dan usaha-usaha lain untuk memperbaiki lingkungan hidup bisa menjadi penghayatan dan pengamalan iman dalam merayakan Natal kali ini. (Sumber: Kompas, 24 Desember 2007, hlm. 6).


Mgr. AM. Sutristnaatmaka, MSF

Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah


Mengharapkan Bumi dan Langit Baru
Mgr. I. Suharyo, Pr


Beberapa tahun lalu saya melihat sebuah iklan terpampang di tempat yang amat strategis, di salah satu pintu masuk kota Yogyakarta. Iklan itu memuat gambar mulut orang yang terisi – mungkin lebih tepat dijejali – berbagai macam buah.


Mulut itu begitu penuh sampai kelihatan menganga amat lebar, hampir sobek. Saya bertanya dalam hati, masihkah itu disebut mulut? Iklan yang terpampang selama sekitar tiga tahun itu rupanya ingin mengatakan kepada orang-orang yang melihat, betapa enaknya produk makanan yang ditawarkan itu. Waktu saya melihatnya, dalam hati saya bertanya, bukankah iklan ini mencerminkan salah satu watak zaman, serakah?


Keserakahan inilah yang antara lain membuat Indonesia kehilangan julukan zamrud khatulistiwa, lalu menyandang sebutan baru sebagai negara penghancur hutan tercepat (Tempo, 41/XXXVI/3-9 Desember 2007). Keserakahan ini pula yang kiranya membuat Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali tidak mudah menghasilkan keputusan bersama. Keserakahan ini pula yang menempatkan Indonesia pada urutan ketiga paling rawan terkena dampak pemanasan global (Kompas, 12/12/2007, hlm. 13). Keserakahan itu tak hanya merusak Bumi, tetapi juga menjadikan manusia penyembah berhala. Menurut perspektif Kristiani, serakah sama dengan menyembah berhala (bdk. Ef 5:5).


Langit baru Bumi baru
Natal adalah peringatan kedatangan Yesus ke dunia lebih dari dua milenium lalu (Luk 2:1-8). Kedatangan Yesus juga diharapkan pada pemenuhan waktu, ketika Allah menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28). Namun, kedatangan Yesus tidak hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. “Hari ini”, Ia juga harus dilahirkan di tengah dunia nyata (Luk 2:11). Ketiga makna ini terkait harapan akan masa depan yang damai dan sejahtera. Beginilah Nabi Yesaya menubuatkan kedatangan Yesus, “…seorang anak telah lahir untuk kita… dan namanya disebutkan orang …Raja Damai…dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan…karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran” (9:5-6).


Zaman damai sejahtera itu digambarkan sebagai suatu harmoni alam semesta sebagaimana dinubuatkan oleh nabi yang sama, “serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing…anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, dan seorang anak kecil akan menggiringya…tidak ada yang akan berbuat jahat atau berlaku busuk…sebab seluruh Bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan” (Yes 11:6-9).


Pada zaman itu Bumi akan menjadi amat subur,” …pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran” (Am 9:13-14).


Rusaknya relasi antara Allah dan manusia serta antara manusia (bdk. Kej 11) akan diatasi. Demikian juga alam yang hancur karena kejahatan manusia (Kej 6-7) akan dipulihkan. Akan terwujudlah langit baru dan Bumi baru (bdk. Why 21:1-8). Nyatakah harapan itu?


Hidup dengan bijaksana
Ajakan untuk hidup bijaksana itu adalah bagian dari ajakan yang disampaikan dalam pesan Natal bersama oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berjudul “Hiduplah dengan Bijaksana, Adil, dan Beribadah”. Agar dapat hidup bijaksana, umat Kristiani diimbau supaya tekun mendengarkan firman Allah agar kebijaksanaan Ilahi meresapi pikiran dan hati.


Dalam konteks Natal dan situasi aktual zaman ini, hati dan pikiran yang diresapi kebijaksanaan Ilahi menggerakkan orang untuk – baik sendiri-sendiri maupun bersama – ikut membangun langit baru dan Bumi baru sehingga harapan menjadi kenyataan.


Di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, seorang pemimpin komunitas iman mengembangkan Gerakan Masyarakat Cinta Air dalam rangka konsientisasi dan edukasi masyarakat akar rumput. Di Bantul, DI Yogyakarta, ada orang lain lagi yang selama 25 tahun menghutankan sekitar 400 hektar bukit kapur kritis serta membentuk sebanyak dua belas kelompok tani pencinta lingkungan (Kompas, 16/12/2007).


Pada tingkat global ada berita gembira, Peta Jalan Bali disepakati para peserta Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, termasuk AS.


Dalam perspektif Kristiani, itu semua adalah wujud kecil atau awal langit baru dan Bumi baru. Prakarsa seperti inilah yang antara lain diamanatkan khususnya kepada umat Kristiani yang merayakan Natal. Kalau demikian, perayaan Natal menjadi ibadah sejati dan bermakna, bukan sekadar ibadah basa-basi.


Selamat Natal 2007 dan Selamat Tahun Baru 2008.

(Sumber: Kompas, 24 Desember 2007, hlm. 1 dan 15).
Mgr. I. Suharyo, Pr

Uskup Keuskupan Agung Semarang.

TERLIBAT,
Persembahan Terbaik bagi Dia
F.X. Agus S Gunadi, Pr



Mau Hebat, Ayo Terlibat



Bintaran, duapuluh lima Desember dua ribu tujuh. Persis di depan altar, di atas tempat duduk umat bagian depan, terpampang spanduk besar bertuliskan, “MAU HEBAT, AYO TERLIBAT!” Hurufnya besar-gemuk, pesannya amat tajam menusuk, dan peletakannya seolah-olah memaksa setiap orang untuk membacanya! Saya tidak tahu pesan itu untuk siapa, maksudnya untuk seluruh umat atau secara khusus ajakan untuk anak-anak dan remaja. Bukankah tahun 2008 ini Keuskupan Agung Semarang menetapkannya sebagai tahun anak dan remaja. Bagaimanapun juga, saya merasa senang membaca tulisan yang terpampang gagah itu. Luar biasa, gagasan yang brilian entah dari siapa yang empunya tulisan itu.


Sampai suatu ketika, salah seorang umat membisikkan kata-kata ini, “Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Wuih, kata ini jauh lebih tajam menghujam sanubari saya. Hati saya tergetar. Kata-kata itu menantang saya untuk mengoreksi kebanggaan saya selama ini! Ya ya ya, betul, bukankah sikap yang keliru kalau keterlibatan di Gereja itu untuk sebuah upah bernama kehebatan? Apalagi itu dikatakan oleh seseorang yang begitu rendah hati dalam kata dan tindakan, dan penuh tanggung jawab dalam perutusan iman! Saya malu dengan ketidakpekaan saya akan ungkapan spanduk tersebut. Uuntuk menghibur diri dan menutupi rasa malu itu saya mencoba mencari pembenaran: bukankah wajar keterlibatan berupah pada perasaan hebat, bukankah biasa bahwa orang ingin diakui perannya juga pada perkara iman dan hidup menggereja, bukankah… , bukankah…. Namun, semua itu hanyalah pembenaran. Jauh dalam lubuk hati , nurani berbisik: betul perkataan itu, terlibat bukan karena mau hebat! Inilah hadiah Natal terlindah untuk saya saat ini.


Bercermin pada Allah dan Abraham
Perayaan Natal ini begitu dekat dengan perayaan Idul Adha. Idul Qurban tanggal 20 Desember, Natal 25 Desember. Saya tergoda untuk menghubungkan keduanya. Supaya juga memberi pencerahan pada arah komunikasi iman dalam kemajemukan agama di tengah masyarakat kita. Ngiras pantes mencari titik temu kedua perayaan keagamaan tersebut. Apa sih relevansi Natal dan Adul Adha? Apa sih hakikat Natal? Mengapa Natal menjadi hari yang begitu istimewa bagi sebagian besar penduduk dunia? Apa bedanya dengan hari-hari atau perayaan-perayaan lain? Tuhan yang selama ini dipahami sebagai yang mahatinggi, tidak terjangkau, duduk di singgasana surga, kini rela menjelma menjadi seorang manusia. Bapa yang mahakuasa dan kekal, nun jauh di atas langit, mengambil pilihan untuk mencintai manusia dengan mengutus Putera-Nya ke dunia. Inilah hakikat sukacita Natal. Kemudian kita bertanya diri, siapakah saya, sehingga Tuhan sudi mencurahkan cinta dan kepedulian-Nya pada nasib saya manusia?


Tidak ada jawaban yang bersumber pada kebaikan kita. Bukan karena kita suci. Bukan juga karena rajin beribadah atau ziarah. Bukan pula karena kita seorang yang selalu terlibat dalam hidup berjemaat. Bukan, sama sekali bukan. Bahkan kelahiran dan penebusan Yesus bukan saja untuk kita, tetapi untuk dunia. Jadi, bahkan sukacita itu seharusnya meluap pada diri seorang yang telah 28 tahun tidak beribadah, mereka yang selama ini imannya “tidur”, mereka yang bahkan walau mengaku Katolik tetapi tidak utuh, karena melalaikan tradisi “ngaku dosa”. Jadi, sumber sukacita itu karena Allah. Tidak karena manusia. Allah mengambil pilihan dan keputusan untuk datang menebus dunia, seluruh umat manusia! Luar biasa bukan! Dengan itu, atas cinta-Nya yang murni, tanpa pamrih, Allah memberikan hadiah terbaik bagi umat manusia, yaitu pemberian diri-Nya sendiri untuk kita! Puji Tuhan.


Apa yang dirayakan dalam Idul Adha? Stop, jangan terpancing untuk berdebat dengan emosi fanatis tentang siapa sesungguhnya anak yang dikorbankan Bapa Abraham, Nabi Ibrahim! Mari kita renungkan bersama esensi perayaan itu sendiri. Seorang bapa, bapa orang beriman, bapa bagi jemaat Muslim, Yahudi, dan Kristen, mempersembahkan yang terbaik bagi Allah! Betul, mari masuk dalam relung renung kejujuran hati kita dan mulai bertanya: harta apa lagi yang lebih berharga bagi orang tua, kalau bukan anak yang amat dikasihinya. Apalagi kalau diingat bahwa itu adalah anak satu-satunya yang bahkan dijanjikan oleh Allah akan beranakpinak seperti pasir di samudra dan sebanyak bintang di langit! Abraham mempersembahkan pisungsung yang terbaik bagi Allah! Anak yang sungguh digadhang-gadhang, ketika diminta oleh Tuhan, dipersembahkannya dengan segala kerelaan dan ketakwaan seorang beriman.


Peristiwa Natal menjadi cermin bagi kita umat beriman tentang siapa Tuhan yang kita imani. Tuhan ternyata seorang Bapa yang mempunyai hati bagi umat manusia. Dia telah memberikan yang terbaik, teristimewa, kepada kita dengan mengutus Putera Tunggal-Nya menjelma menjadi manusia untuk tebusan bagi dosa-dosa kita. Sementara peristiwa Idul Adha adalah persembahan tulus seorang manusia yang sedemikian takwa kepada Allah. Yang dipersembahkan oleh Nabi Ibrahim adalah darah dagingnya sendiri. Yang terbaik, yang teristimewa, hanya bagi Tuhan. Inilah cermin hidup manusia. Inilah inspirasi bagi hidup kita sekarang ini.


Kalau hari-hari ini kita dihadapkan pada cermin bening cetha wela-wela persembahan Allah dan persembahan Abraham, setiap pribadi ditantang dengan pertanyaan: mau ke manakah arah peziarahan iman kita ke depan, memasuki tahun 2008?


Pisungsung Tanpa Pamrih
“Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Kata-kata ini sampai sekarang masih begitu jelas menggema dalam benak saya, merasuki seluruh jiwa saya, meresap sampai ke balung-sumsum saya. Mungkinkah kita melepaskan diri dari kultur yang begitu rekat dalam hidup masyarakat pada umumnya, yaitu pamrih? Memang, hampir dalam segala kegiatan, bahkan kalaupun itu kegiatan sosial, ada saja pamrih di baliknya! Mari dengan jujur metani diri sendiri, adakah sesuatu yang saya perjuangkan, saya gulati, saya libati, tanpa pamrih apa pun? Bahkan kalau itu kegiatan-kegiatan sosial keagamaan? Kalaupun pamrih itu bukan hal-hal material. Saya ibadah karena ingin masuk surga; berdoa karena ingin dikabulkan permohonannya; ziarah dan novena supaya keinginannya tercapai; kegiatan lingkungan supaya tidak terkucilkan; baik dengan tetangga supaya kalau ada apa-apa ada yang peduli; dan sebagainya.


Kalau mau jujur, hampir selalu saja ada pamrih, kalaupun pamrih itu tidak kita sadari. Betapa saya kecewa kalau dalam kepanitiaan saya dikatakan tidak becus. Saya tersinggung kalau dikomentari tidak sukses. Saya kecewa ketika orang mengatakan saya kurang siap membawakan acara. Saya sungguh menaruh harapan bahwa terhadap pekerjaan saya, orang akan mengatakan proficiat, selamat, sukses, dan kata-kata senada. Saya ternyata jauh dari tulus, jauh dari “bersih” tanpa pamrih.


Abraham dan Allah semestinya menjadi cermin bagi peziarahan iman kita. Dua hal yang bisa kita bawa sebagai bekal memasuki tahun 2008. Pertama, ada pekerjaan rumah yang ada di hadapan kita: membersihkan diri dari pamrih dalam keterlibatan hidup sosial dan gerejani! Kedua, mendorong diri untuk memberi “pisungsung” terbaik bagi Allah! Bersih dari pamrih, pastilah tidak mudah dan tidak harus sungguh sempurna. Bekerjalah sewajarnya dengan mengharapkan upah untuk hidup. Cintailah keluarga dengan sepenuh hati, syukur-syukur kita pun mendapatkan kelimpahan cinta dalam keluarga. Bangunlah persaudaraan dan persahabatan dalam hidup bermasyarakat, supaya hidup lebih nyaman. Namun, terutama dalam aktivitas iman gerejani, paksakanlah diri untuk menghindari pamrih, sekalipun sedikit apa pun!


Tentang pemberian pisungsung terbaik bagi Allah, wujudnya bisa bermacam-macam. Intinya adalah dalam segala pewujudan pisungsung itu, optimalkanlah ketulusan dan kebesaran hati dalam persembahan diri! Yang namanya memberi itu pastilah disertai dengan “kehilangan”. Pertanyaan introspeksi: adakah usaha misungsungke hidup kita kepada Allah sampai sekarang ini membuat saya merasa kehilangan sesuatu secara signifikan? Kalau belum, kita mungkin belum optimal mempersembahkan diri! Apakah kita sudah merasa berpayah-payah dalam mengabdi Tuhan dan sesama? Adakah kita sudah keronto-ronto memberi kesaksian tentang kebaikan Allah di tengah masyarakat? Adakah kita telah berpuasa dan matiraga menyisihkan hasil jerih payah kita untuk tegak berdirinya Bait Allah Gereja Bintaran yang di sana-sini butuh perbaikan akibat gempa?


Lepas Bebas
Muara dari seluruh pergulatan hidup melucuti diri dari pamrih adalah sikap lepas bebas! Artinya melepaskan diri dari segala pamrih, dalam keterlibatan hidup iman. Pamrih adalah upah. Kita tidak mau mendapatkan upah. Entah itu nama baik, sanjungan, apalagi hadiah. Kita ingin menjadi mawar. Seperti mawar yang menampilkan keindahan dan keharuman bukan saja untuk mereka yang mencintainya, namun juga bahkan untuk si pemetik jahat yang siap dengan pisaunya, demikianlah juga kita hendaknya!


Tentang itu ada teladan yang demikian dekat dengan kita. Mari kita kenang Rama FA. Martana Pr yang wafat 1.000 hari yang lalu. Dia adalah putra Bintaran, putra bapa Abraham leluhur kita. Semangat iman dan motto imamatnya kira-kira begini: “Dia harus semakin besar, aku harus semakin kecil. “ Itulah semangat Yohanes Pembaptis. Rama Martana menghidupi semangat itu secara sungguh-sungguh. Dia samasekali tidak haus pujian, sekecil apa pun. Dia menghindar dari segala publikasi. Bahkan mungkin kita yang separoki ini tidak kenal dengan dia. Dia bekerja, mengabdi, demi kebesaran nama Tuhan: Ad Maiorem Dei Gloriam. Sebagai seorang imam, dia memilih pekerjaan yang paling rendah, yang paling dihindari, yang paling hina! Semangat mati raganya luar biasa. Sampai hala-hal fisik, tidur di atas papan, makan sederhana, dan memilih pekerjaan yang paling dihindari orang. Pernah ketika menjadi pamong Seminari Menengah Mertoyudan, setiap siang dia membersihkan belasan lubang WC seminarisnya hanya dengan sikat tanpa gagang panjang! Dengan senang hati dia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menurut ukuran manusia tidak terhormat. Sekalipun amat potensial dalam banyak hal, dia memilih untuk melayani umat di pedalaman Kalimantan. Pada akhirnya, semangat menanggalkan ke-aku-an, semangat tanpa pamrih, semangat lepas bebas supaya hanya Allah dimuliakan, dipenuhi oleh Allah dengan anugerah salib-Nya, yaitu sakit kanker lidah yang mengantarnya menghadap Sang Khalik! Pada saat-saat menjelang akhir hidupnya, dalam derita yang amat sangat, semakin tampak kemuliaan Allah yang terpancar pada wajahnya yang selalu tersenyum tanpa pamrih itu!


Bapa Abraham, Rama Martana, Pak Warsa, Bu Bina, Mbak Yekti, Mas Markus, Dik Ari, Om Robert, kita semua, dipanggil untuk membawa tongkat estafet perutusan iman: Ad Maiorem Dei Gloriam. Bercermin pada pemberian diri Allah di satu sisi, dan pisungsung terbaik Abraham di sisi lain, mari kita berani membuat komitmen iman: mempersembahkan hidup yang terbaik bagi kemuliaan Allah. Tanpa pamrih, lepas bebas. Ayo terlibat, bukan karena mau hebat!


Selamat Natal 2007 dan Tahun baru 2008.


Tuhan memberkati.
Rama F.X. Agus Suryana Gunadi, Pr

adalah Pastor Kepala Paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta.

Sugeng Rawuh

Selamat datang di LoncengBintaran, media komunikasi dan informasi Paroki St. Yusup Bintaran-Yogyakarta