KOMSOS BINTARAN

KOMSOS BINTARAN

20/09/08

TEMA PESTA INTAN GEREJA BINTARAN

Rětnaning Rat Nayakaning Bawana

Manu J. Widyaseputra

Pengantar

Para Rama dan segenap umat yang berbahagia, tema yang dipilih untuk Perayaan 75 Tahun Gereja St. Yusup Bintaran tahun 2009 ( = Pesta Intan) adalah Rětnaning Rat Nayakaning Bawana. Tema ini demikian agung dan berumur panjang. Karena itu Rm. Agus dan panitia sempat mencetuskan gagasan barangkali rumusan tersebut nantinya bisa menjadi semacam sesanti yang terpateri pada bagian depan Panti Paroki setelah selesai dipugar. Untuk kepentingan kali ini panitia Pesta Intan memuat penjelasan tema secara ringkas yang disiapkan oleh Bapak Manu J. Widyaseputra, pakar sastra Jawa yang sehari-harinya menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta. Pak Manu adalah salah seorang Prodiakon Paroki Bintaran dan warga Lingkungan Don Bosco. Terima kasih Pak Manu untuk penjelasannya yang berharga. -Panitia Pesta Intan.

***
  1. Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai tataran yang berbeda. Rětnaning Rat lebih mengarah pada tataran Ilahi, sedangkan Nayakaning Bawana lebih mengarah pada tataran manusiawi.
  2. Hal itu dadasarkan pada pengertian: Rětna dalam Sěrat Ramabadra Jawi didudukkan sama dengan sūrya, ‘matahari’, yang dengan tejas-nya memberikan kehidupan kepada bumi. Tanpa adanya sūrya, bumi tidak akan pernah ada kehidupan, karena tejas matahari dapat menumbuhkan segala macam tumbuh-tumbuhan, mengatur peredaran air di bumi, memberi energi kepada semua makhluk hidup di bumi
  3. Nayaka dalam Sěrat Ramabadra Jawi menyarankan kehadiran Rama sebagai karakter yang akan berperan di bumi ini, ia tidak akan mati atau dibunuh sampai pada akhir naratif Sěrat Ramabadra Jawi. Kehadiran Rama yang semacam itu memberi pengertian bahwa Rama akan selalu hadir menembus ruang dan waktu (deśa dan kāla). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa Rama dikenal di segala macam tempat di bumi dari berbagai kurun waktu.
  4. Dalam kaitannya antara Rětna dan Nayaka dapat diperoleh pengertian bahwa kedua tataran makna itu saling berhubungan erat: sebagai Rětna, Rama berkedudukan sebagai sūrya di bumi, berarti ia memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi ini. Kalau sūrya memberi kehidupan dengan tejas, sementara Rama memberi kehidupan dengan dharma dan brata-nya. Kemudian sebagai Nayaka, Rama, yang memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi akan hadir mulai masa lalu, masa kini, dan masa mendatang di berbagai penjuru dunia. Kalau sūrya dengan tejas-nya menjadi pratistha di bumi, Rama juga menjadi pratistha di bumi ini dengan dharma dan brata-nya. Ia menopang bumi dengan kebajikan dan keteguhannya.
  5. Keberadaan Rama sebagai Rětna dan Nayaka di bumi selalu dilandasi oleh rasa, yang dinamakan karuna rasa. Ia hadir di bumi sebagai pratistha dalam suasana yang penuh keprihatinan, sekalipun anugerah yang diterimanya sangat besar dari Bathara Guru.
Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat Nayakaning Bawana

Ketika konsep Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana ini diterapkan untuk menyongsong Ulang Tahun Intan Gereja Santo Yusup Bintaran (2009), pengertian konseptual itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
  1. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai peran di dalam dua tataran kehidupan pada waktu yang bersamaan, yakni tataran Ilahi dan tataran manusiawi. Semakin tinggi nilai Ilahi semakin besar pula rasa kemanusiaannya (semakin humanis). Keduanya memang harus seimbang sehingga terjadilah harmonisasi di berbagai tataran kehidupan umat di Paroki Santo Yusup Bintaran.
  2. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat, artinya menjadi sūrya, ‘matahari’ yang dapat memberi kehidupan umat manusia dalam tataran Ilahi dan dalam tataran manusiawi. Ia memberi kehidupan dengan tejas-nya, yang dalam hal ini adalah pilar-pilar gereja: liturgi, pewartaan, communio, diakonia, martyria, managemen dan budaya. Melalui pilar-pilar itulah Gereja berperan dalam kancah kehidupan manusia secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan identitas yang dimiliki oleh umat manusia. Dalam konteks ini paling tidak umat yang ada di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.
  3. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Nayakaning Bawana, artinya hadir di sepanjang waktu: masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Ia tidak akan mati atau berakhir dalam menembus ruang dan waktu, sekalipun pada masa kini terjadi budaya global yang lebih menekankan pada kehidupan materialistik. Sebagai nayaka Gereja Santo Yusup Bintaran memauli tejas­-nya mampu melakukan proses adaptasi dan transformasi diri di dalam budaya hidup yang sekuler.
  4. Perannya sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana akan mendudukkan Gereja Santo Yusup Bintaran ini sebagai pratistha, ‘penopang, penyangga’ kehidupan umat manusia dari berbagai macam ruang (lapis-lapis masyarakat) dalam berbagai macam kurun waktu. Setiap ruang dan kurun waktu tentu memiliki karakteristik yang khas, sehingga tejas ini diharapkan mempunyai kemampuan untuk adaptasi dan transformasi demi harmonisasi. Namun tidak berarti bahwa Gereja Santo Yusup harus menjadi sekuler di era globalisasi, tetapi sebaliknya dengan tejas-nya ia “menjinakkan” gelombang globalisasi yang melanda, baik ruang maupun waktu dalam kehidupan manusia, khususnya di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.

Yogyakarta, Agustus 2008
Manu J. Widyaseputra

KAUM MUDA BINTARAN BER-EKM





Ekaristi Kaum Muda atau biasanya para kaum muda menyebutnya dengan singkatan EKM, yach… Ekaristi yang dirancang atau dibuat oleh kaum muda katolik yang memiliki jiwa muda untuk memberikan semangat muda bagi gerejanya. Tentunya bagi Gereja Bintaran yang selalu identik dan berciri khas “gereja kaum tua atau para sesepuh” (bukannya bermaksud untuk mengutarakan kejelekan atau menghina Gereja Bintaran, tetapi kita lihat dari segi rasional dan kenyataan saja), karena memang Gereja kita sudah sejak dulu kala terkenal dengan Gereja Tua atau Gerejanya orang-orang tua. Hal ini memang tidak terlepas dari historia Gereja Bintaran yang memang dibangun sebagai gereja pribumi yang pertama. Akan tetapi sebenarnya hal ini sungguh lucu, trendmark itu seolah-olah menjadi momok bagi kita sampai sekarang. Karena apa? Bagaimana Bintaran akan disebut gereja “Kaum Muda” kalau kaum mudanya sendiri tidak mau ke Gereja Bintaran dengan berbagai alasan. Padahal sebenarnya Gereja tidak mempunyai sekat yang tegas, gereja bersifat universal bukan milik satu golongan (tua, muda, anak-anak) akan tetapi gereja menjadi pemersatu semua golongan dan semua perbedaan.


Di tahun 2008 ini Gereja Bintaran sudah mulai bangkit kaum mudanya (tentu saja tidak mengesampingkan sejarah ke-suksesan para mudika terdahulu) untuk melayani Tuhan dan berkarya di Gereja yaitu salah satunya dengan mempersembahkan sebuah Ekaristi Kaum Muda yang bertepatan juga dengan Ulang Tahun Bangsa Indonesia yang ke-63 sekaligus mengucap syukur atas Kemerdekaan Bangsa kita, sehingga persiapan yang dilakukan kemarin betul-betul matang dan penuh semangat. Ya…akhirnya Gereja Santo Yusup Bintaran masih memiliki orang-orang muda yang berjiwa muda dan mampu untuk melayani Tuhan dengan tulus dan ikhlas di Gereja mereka sendiri, mereka juga mau berkarya menanam “biji sawi” di ladangnya sendiri.


Dengan memberikan karya mereka dengan bentuk Ekaristi Kaum Muda yang sudah dilaksanakan pada hari Minggu 17 Agustus 2008 yang lalu, membuktikan bahwa kaum muda katolik di Paroki Santo Yusup Bintaran masih aktif dan Gereja Bintaran tidak hanya untuk para kaum tua saja namun para kaum mudanya pun bisa dan mau terlibat dalam suatu Ekaristi.


Ekaristi yang dilaksanakan kemarin berjalan dengan lancar, meskipun ada kekurangan-kekurangan pada persiapan yang dilakukan panitia sebelum hari pelaksanaannya namun pada akhirnya sangat bagus. Dari diskusi singkat dengan Romo Tejo tentang EKM lalu, beliau mengatakan kalau EKM nya sangat bagus dan berjalan sukses. Tapi ketika monolog dimulai (waktu itu acaranya sebelum berkat penutup dari Romo) semua umat belum ada yang beranjak dari kursi Gereja, antusias umat untuk melihat ending serta kesimpulan dari EKM tersebut sangat besar. Sehingga ketika monolog selesai dibacakan atau dibawakan oleh Mas Andre, ada beberapa umat yang meninggalkan Gereja alias pulang padahal setelah Monolog ada berkat penutup dari Romo. Dan itulah yang disesalkan oleh Romo ‘mengapa umat langsung pulang setelah monolog selesai dibacakan?’ Perkataan Romo tersebut menjadikan Pekerjaan Rumah bagi panitia terutama Sie Acara, sehingga kejadian tersebut menjadikan kami sebagai pelajaran untuk ke depannya.


Sedikit catatan dari drama yang diperankan oleh teman-teman kaum muda,yaitu tentang suara dan vocal mereka yang kurang jelas terdengar oleh para umat serta yang ingin mendengarkan isi dari percakapan mereka ketika mereka berkumpul sambil ngobrol. Bahkan salah satu umat ada yang berkomentar (waktu itu saya tidak sengaja mendengarkan) ‘mereka ngomong apa, kok hanya terdengar krusuk-krusuk atau gremeng-gremeng aja?’ Memang disadari bahwa dalam hal teknis EKM kemarin memang belum memadai, segala usaha dan daya juga sudah diusahakan oleh panitia termasuk memasang LCD agar umat paham dan mengetahui alur dari EKM, namun pada kenyataannya masih kurang sempurna.


Catatan selanjutnya, tentang kepanitiaan yang mungkin boleh dibilang masih butuh banyak belajar. Salah satunya masih kurangnya koordinasi baik dari koordinator kepada masing-masing sie ataupun sebaliknya. Padahal koordinasi menjadi syarat penting dalam setiap kepanitiaan untuk suksesnya kegiatan. Memang itu semua perlu keterbukaan hati untuk mau belajar dan menerima masukan dari orang lain. Terlebih apabila mendapat posisi sebagai koordinator. Perlu perjuangan yang lebih keras karena menjadi orang yang paling bertanggung jawab dalam kegiatan serta harus memahami cara kerja kepanitiaan, koordinasi lintas seksi, dan benar-benar tahu apa yang harus dikerjakan dan harus dilaksanakan sesuai dengan skala prioritas agar secara urut dan persiapan sampai pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar dan terprogram. Hal ini tentu saja harus didukung oleh anggota kepanitiaan yang lain dengan men-suport secara total. Kalau boleh dibilang sebuah kepanitiaan ibarat sebuah kapal. Di dalam kapal harus ada nahkoda yang handal yang mampu memegang kendali kapal yang didukung para awak yang handal yang siap sedia bekerja sama dengan nahkoda. Apabila nahkoda tidak bisa bekerja sama dengan para awak atau sebaliknya maka kapal itu akan berlayar dengan terseok-seok atau bahkan bisa karam diterjang badai.


Ini mungkin hanya tanggapan pribadi dan bukan evaluasi sepihak, tetapi hal ini sekiranya dapat menjadi permenungan bagi kita untuk kedepannya dalam setiap kepanitiaan kita harus siap menjadi nahkoda atau awak, serta siap dan terbuka menerima kritik dan saran serta mau banyak belajar.


Di balik ketidaksempurnaan kami dalam merancang, menciptakan ide, maupun melaksanakan EKM tersebut, ada suatu kebanggaan atau kebahagiaan tersendiri bagi kami, selaku Panitia EKM beserta seluruh komunitas yang terlibat. Kami bangga dan senang karena umat yang hadir cukup banyak sehingga membuat Ekaristi semakin meriah, khususnya ba-gi kaum muda yang merasa harkat dan martabat sebagai orang muda yang memiliki kreatifitas cukup tinggi terangkat dan merasa dihargai sebagai umat Gereja Bintaran. Melayani Gereja serta berperan aktif dalam karya Tuhan Yesus kaum muda katolik yang berada di wilayah Paroki Bintaran memiliki jiwa semangat yang tinggi, para kaum muda sangat bersemangat dan serius dalam melayani Gereja. Apalagi dengan adanya EKM kemarin, kaum muda menjadi lebih semangat dalam melayani Gereja. Namun tidak hanya EKM para kaum muda bersemangat dan berperan aktif tetapi juga harus mampu terlibat aktif dalam Misa Ekaristi harian yang diadakan oleh Gereja Bintaran sehingga Dewan Paroki, Romo maupun umat yang sebagian kaum tua bisa melihat dan merasakan bahwa Gereja Bintaran mempunyai anak-anak muda ternyata “tidak mati”. Tidak hanya memiliki embel-embel atau berstatus sebagai MUDIKA BINTARAN tetapi juga memiliki kualitas dan kuantitas di dalam jiwa MUDIKA, yang bermutu kreatifitasnya dan “kembali hidup” untuk melayani Gereja.


Terakhir dari tulisan ini adalah harapan-harapan setelah kaum muda Bintaran ber-EKM adalah:
  • Agar kaum muda memiliki semangat yang lebih dalam melayani Gereja terutama dalam karya Tuhan Yesus melalui Gereja.
  • Agar kaum muda semakin menyadari akan kesempatan-kesempatan terus menerus yang diberikan oleh gereja untuk karya-karyanya.
  • Agar semakin tercipta kerjasama yang baik antar komunitas dan antar bidang.
  • Agar dapat melebur egoisme dan kepentingan pribadi, dan semakin terbuka untuk menerima kritik dan saran serta mau terus belajar untuk hal yang lebih baik.
  • Jangan pernah menyerah dan takut apabila ada kendala dan situasi tidak menyenangkan, TETAP SEMANGAT DALAM MELAYANI TUHAN.
  • Tahun depan (tahun 2009) adalah tahunnya kaum muda, semoga EKM menjadi batu pijakan untuk menyongsong tahunnya kaum muda dengan berkegiatan yang positif dan bermutu, terlebih tahun 2009 gereja kita juga merayakan pesta intan 75 tahun yang tentu saja membutuhkan peran serta dan keterlibatan kaum muda dalam setiap kegiatan.



Tuhan memberkati,
Ursula Nadia
(Mudika Lingkungan Emmanuel)

KITA DIUTUS MENJADI GARAM DUNIA


Garam akan bermanfaat jika dia telah meleburkan diri ke dalam sebuah masakan. Dengan kuantitas yang hanya sedikit namun dengan takaran yang pas, garam akan melezatkan masakan. Garam tidak akan bermanfaat jika dia terus-menerus hanya menggumpalkan dirinya dan terbuai kenyamanan dalam kebersamaan dengan komunitasnya terlebih jika malah terbuai angan-angan akan manfaat yang nantinya dia berikan bagi sebuah masakan.

Begitu juga dengan Gereja, dengan menyadari bahwa hidup di tengah masyarakat mengemban tugas perutusan dari Allah untuk sanggup menjadi garam bagi dunia maka Gereja juga harus sanggup meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat untuk menyebarkan nilai-nilai Kristiani sehingga dapat tercipta citarasa baru bagi lezatnya kehidupan masyarakat sekitar kita. Sebagai garam yang lebur di dalam masakan tentu akan mengingkari kebiasaan banyak orang yang selalu ingin dipuji sebagai sosok yang berjasa, namun demikian kita tetap harus bisa menciptakan masakan yang lezat. Dengan berusaha lebih mendalami ajaran-ajaran Kristus dan memahami setiap tugas yang kita emban dalam kehidupan bermasyarakat niscaya kita akan dapat melihat dengan jernih bahwa kini bukan saatnya lagi kita berbangga diri jika hanya sanggup menggumpalkan diri dalam komunitas-komunitas intern gereja.

Nostalgia-nostalgia akan banyaknya umat yang aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja beberapa waktu lalu tentu bukan menjadi alasan untuk melahirkan penyesalan jika saat ini umat terlebih kaum mudanya tidak begitu hobi untuk berkegiatan dalam lingkup intern gereja. Penyesalan-penyesalan tiada guna jika hanya berhenti pada pemban-dingan sebuah fenomena dalam kacamata masa yang berbeda tanpa adanya koreksi guna perbaikan ke depan. Zaman telah berubah dan menurut Rm. Agus, kegiatan kegerejaan hanyalah satu di antara sekian banyak (kegiatan) yang seringkali jauh lebih menarik dan “mengembangkan”. Namun demikian jika Gereja mau dan mampu membenahi diri maka keprihatinan Rm. Tom Jacob, SJ akan fenomena yang dialami Gereja di Belanda yang seakan semakin ditinggalkan umatnya tidak lagi terjadi minimal tidak dialami Gereja di Indonesia khususnya Gereja St. Yusuf Bintaran Yogyakarta.

Gereja tentu menyadari bahwa dalam menjalani hidup ini umat mengemban tugas yang beraneka macam dan tidak hanya berhenti pada kegiatan-kegiatan di sekitar altar gereja sehingga pola penggembalaan umat dimana kegiatan di sekitar altar gereja yang dijadikan tolak ukur keberhasilannya sekiranya pantas dipertimbangkan kembali. Komunitas-komunitas yang ada saat ini memang masih cukup relevan sebagai sarana penggembalaan. Namun, Gereja juga harus berani masuk lebih dalam lagi guna melakukan pendampingan pada komunitas­-komunitas umat dengan lebih mendasarkan pada FUNGSI atau tugas yang diemban umat dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak sebatas tugas yang diemban dalam kegiatan­-kegiatan di sekitar altar atau bahkan sebatas pendampingan berdasarkan kategorial umat yang terhimpun dalam sebuah komunitas seperti yang banyak terjadi saat ini, misalnya dengan mendirikan komunitas anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak, ibu-ibu, dan lain sebagainya tanpa menyentuh sama sekali tugas yang diemban umat selain keikutsertaannya secara aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekitar altar. Kini Gereja harus lebih mengefektifkan pendampingan pada komunitas-komunitas FUNGSI seperti komunitas pelajar, mahasiswa, karyawan, seniman, petani, pedagang dan lain sebagainya sehingga umat yang didampingi dapat menjalankan tugas yang diemban di tengah masyarakatnya sesuai dengan nilai-nilai kristiani. Namun demikian Gereja harus membatasi diri hanya dalam penanaman spritualitas tanpa harus masuk ke dalam areal praksis karena akan lebih efektif jika areal praksis ditangani lembaga lain yang lebih berkompeten. Dari sini diharapkan pelaksanaan tugas yang diemban umat yang tentu saja sesuai dengan nilai-nilai kristiani akan membuat kehidupan di sekitarnya lebih lezat walau tanpa harus menonjolkan kekristenannya. Alangkah indahnya jika nilai-nilai kristiani dapat dicerna masyarakat dengan memperhatikan karya kita di tengah mereka tanpa harus kita tonjolkan baju kekristenan yang kita pakai yang terkadang malah mengisolir kita.

Untuk mengerti tugas yang diberikan diperlukan komunikasi secara aktif dengan Sang Pemberi Tugas yaitu Allah sendiri. Hal ini dapat kita lakukan melalui doa, meditasi olah batin terlebih dengan mengikuti Perayaan Ekaristi. Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi kita juga akan lebih mendalami ajaran-ajaran Kristus melalui sabda-sabda-Nya yang kita dengarkan , terlebih kita akan menerimakan tubuh dan darah-Nya sendiri. Dan seperti seruan Imam pada Pengutusan yang mengatakan,” Marilah pergi. Kita diutus.” Di sini tentu kita sadari sebagai wujud penyatuan sikap Gereja bahwa tugas perutusan yang diberikan Allah tidak hanya berhenti dalam kegiatan di sekitar altar. Kita harus pergi guna menjalani hidup dan melaksanakan kehendak-Nya. Layaknya seorang utusan tentu kita juga harus mampu mencerminkan pribadi Sang Pemberi Utusan. Jika kita telah mampu menjalani tahapan hidup seperti ini ketika segala yang kita jalani kita sadari sebagai kehendak Allah bukan lagi kehendak kita sendiri tentu akan kita dapatkan kedamaian karena kita akan selalu mengalami peristiwa perjumpaan dan kebersamaan dengan Allah, tahap inilah Sorga dan puncak hidup orang beriman. Dari sini penulis melihat bahwa Perayaan Ekaristi akan lebih pantas menjadi dasar dan bukanlah puncak dari hidup orang beriman.

Dengan menjalani hidup yang men-dasarkan pada ajaran-ajaran Kristus seperti yang selalu kita dalami bersama terlebih saat mengikuti Perayaan Ekaristi maka umat sebagai seorang anggota Gereja tentu akan selalu rindu untuk hadir dan mengikuti secara aktif Perayaan Ekaristi yang dilaksanakan. Dengan tertanamnya kerinduan ini diharapkan mampu meminimalisir rusaknya iman Gereja oleh kencangnya arus sekularisme yang melanda dunia saat ini seperti yang ditakutkan berbagai kalangan selama ini.

Seiring dengan cepatnya perubahan zaman, Gereja diharapkan juga cepat berbenah diri, mengkoreksi, dan tidak ragu-ragu untuk lebih meluruskan pandangan dan pola penggembalaan yang sekiranya kurang bahkan tidak relevan lagi untuk tetap dipertahankan. Kita diutus Allah sebagai garam bagi dunia yang melebur namun tetap hidup dan sanggup berjuang bersama masyarakat sehingga sungguh-sungguh mampu mewujudkan “100 % GEREJA 100 % NEGARA “. AMIN.


Salam Damai Kristus
HENRICUS TEGUH MARTANTO
Lingkungan Nikolas

BERBAGI BERSAMA IBU-IBU PAROKI

Kamis, 14 Agustus 2008 jam 16.00 WIB bertempat di Ruang Yerusalem Paroki St. Yusup Bintaran dilaksanakan pertemuan rutin ibu-ibu paroki St. Yusup Bintaran. Dalam pertemuan tersebut salah satu acaranya adalah sosialisasi hasil-hasil Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang yang berlangsung pada tanggal 27-29 Juni 2008 yang lalu. Sebagai narasumber adalah utusan dari paroki Bintaran dalam Kongres Ekaristi yaitu Bapak Indri, Mas Yoyok, Mas Bowo, Mba Ucha dan Mba Tyas. Sebagai utusan dari paroki ini baru kali pertama tim ini “ditanggap” untuk berbagi buah-buah Kongres Ekaristi.

Secara singkat sosialisasi ini disampaikan oleh Bapak Indri dan dilengkapi oleh Mas Yoyok yang menjelaskan apa itu Kongres Ekaristi dan apa tujuan yang ingin dicapai setelah berkongres. Selain itu, disampaikan pula buah-buah yang didapat oleh tim di dalam keikutsertaan kongres baik refleksi yang pemahaman tentang ekaristi dari berbagai sudut pandang baik sosial, liturgis, maupun spiritual. Sebagai penekanan dan untuk memperjelas bagaimana situasi kongres saat itu, ditampilkan pula slide acara kongres dari persiapan, misa pembukaan sampai dengan misa penutup dengan diberikan penjelasan. Sosialisasi kongres ini berlangsung kurang lebih 1 jam. @Red

SADHANA BINTARAN



Apa itu. Sadhana Bintaran (Sabin)? Awalnya hanyalah teman lama yang sering nongkrong dan ngobrol di Serambi Komsos yang sampai sekarangpun masih sering ngobrol dan nongkrong di situ. Karena untuk masuk ke kelompok Mudika merasa sudah tidak wangun, ingin ke komunitas lain seperti nyanyi juga kemampuannya hanya paspas-an, maka ketika ngumpul yang dilakukan hanya ngobrol ngalor-ngidul mengingat romantisme jaman dulu.Biasalah ketika ngobrol ngalor-ngidul itu tadi biasanya orang punya keinginan dan harapan yang muluk-muluk, ingin membuat kelompok teaterlah, ingin menghidupkan lagi mudika yang vakumlah, ingin buka usahalah, atau apapun keinginan yang muncul hanya sekedar basa-basi. Kebetulan juga yang sering nongkrong di situ adalah para pemuda yang usianya sekitar 30an tahun lalu pernah muncul gagasan untuk membuat komunitas 25-35 tapi nanti dikira ikut-ikutan kemudian muncul ide membuat komunitas 25+. Tujuan utamanya ya apalagi kalau tidak mencari jodoh yang seiman. Namun, meskipun. gagasan ini pernah juga didukung oleh Pak Mardjo mengingat sekarang ini tidaklah mudah mencari pasangan hidup yang seiman sehingga kiranya kegiatan seperti itu bisa membantu kaum muda dengan menjadi jembatan menemukan pasangan hidupnya. Namun pada kenyataannya banyak kaum muda, khususnya yang berusia 25-35, malu untuk mengikuti kegiatan seperti ini. Pertama karena para Mudika yang biasanya berusia SMA dan kuliah malah sering mengejek “Kelompok bujang lapuk dan perawan lapuk” maksudnya banyak orang yang masih mengecap usia-usia seperti itu sebagai orang yang tidak laku. Tapi bisa ditanya sendiri pada me-reka bahwa mereka memilih untuk tidak pacaran dulu atau menikah dulu adalah pilihan sadar mereka karena menurut mereka itulah pilihan yang terbaik buat mereka.Sempat beredar berita bahwa kdompok yang sering ngumpul tiap Selasa malam di serambi komsos adalah komunitas 25+. Isu ini awalnya menguntungkan karena harapan kami dengan beredarnya isu tersebut akan memudahkan sosialisasi dari mulut ke mulut Tapi temyata harapan itu tidak menjadi kenyataan sebab yang ngumpul ya hanya orang-orang itu saja: Yohanes, Bayu, Agung, Anjar, dan Doni.


Malah akhirnya mereka yang masih berumur di bawah 25 tahun juga sering ikut nongkrong dan ngobrol di situ. Mereka menjadi seperti dikarbit (dewasa lebih cepat). Tapi tantangan globalisasi dengan banyaknya stasiun TV dan internet menuntut anak sekarang seperti itu yang kadang sulit diimbangi oleh orang tua sendiri. Kemudian kadang ada orang-orang baru yang datang seperti Aris dari Pugeran: Lalu dari mereka yang sering kumpul itu ingin membuat komunitas yang serius menjadi fokus kegiatan tiap Selasa malam. Kegiatan apa yang bisa dilakukan oleh semua orang yang berbeda talenta ini? Jawabannya ternyata meditasi.


Hasil dari diskusi malam itu yang menetapkan tiap Setasa malam akan diisi dengan meditasi setengah jam kemudian jika memungkinkan diadakan latihan teater namun kalau tidak memungkinkan ya diadakan sharing pengalaman. Lalu mulailah kita mencari referensi untuk meditasi dan teater. Ketika diskusi dengan Romo Tedjo, Romo mendukung kegiatan seperti itu bisa mengambil acuan reterensi dariSadhana (Buku Meditasi karangan Anthony De Mello, SJ). Setelah mempelajari sedikit buku itu kami lalu sepakat untuk menamakan kelompok meditasi selasa malam sebagai kemompok Sadhana Bintaran (Sabin).


Berdasarkan pengalaman teman-teman ternyata meditasi itu membawa pengalaman rohani yang bermacam-macam. Ketika kita mencari beberapa referensi mulai dari buku Sadhana (Anthony De Mello, 81), John Main, OSB, dan beberapa buku meditasi lain kami malah bingung sebab ternyata meditasi walaupun intinya sama tapi bisa menggunakan metode yang berbeda--beda dan untuk tujuan yang berbeda-beda pula. Maka meskipun kami memakai nama Sadhana untuk praktisnya kami menggunakan metode dari John Main, OSB karena kami rasa lebih mudah dan tidak membingungkan serta tetap setiap latihan.


Tujuan utama dari meditasi ini adalah menuju keheningan dan kesederhanaan. Ternyata untuk hening dan menjadi sederhana sangat suIit. Dari beberapa kali latihanpun teman-teman masih merasa kesulitan untuk menuju keheningan dan itu kami sadari karena tidak ada sesuatu yang instant semua harus melalui proses yang bertahap.


Sadhana Bintaran 2008

EKARISTI DALAM KITAB SUCI


Sejak awal mula Gereja telah memuliakan “roti” dan “anggur” Ekaristi sebagai benar-benar Tubuh dan Darah Yesus Kristus, karena demikianlah yang diajarkan oleh Kristus Sendiri. Tuhan Yesus tahu betapa iman yang mendalam diperlukan untuk menerima ajaran ini, jadi pertama-tama Ia mempersiapkan para murid-Nya dengan mukjizat penggandaan roti dan ikan (Mat 14:15-21). Kemudian Ia menubuatkan bahwa Ia akan memberikan daging-Nya sendiri serta darah-Nya “sebagai makanan dan minuman”. Itulah saat yang menentukan bagi banyak pengikut-Nya: “Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: `Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?’ … Mulai dari waktu itu banyak murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia” (Yoh 6:60,66). Mereka bukannya salah paham dengan-Nya; melainkan mereka benar-benar tidak mau menerima apa yang dikatakan Yesus. Meskipun begitu, Kristus tidak menawarkan penjelasan untuk memperlunak perkataan-Nya atau pun memberikan arti simbolik kepada mereka. Malahan, “Kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67).

Penetapan Ekaristi Kudus terjadi pada saat Perjamuan Malam Terakhir yang digambarkan oleh St. Matius sebagai berikut: “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: `Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.’ Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: `Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.’” (Mat 26:26-28). Peristiwa penting ini juga dicatat oleh St. Markus (Mrk 14:22-24), St. Lukas (Luk 22:17-20) dan St. Paulus (1Kor 11:23-26). Kata-kata Kristus ini sejak dahulu hingga sekarang senantiasa diterima dalam arti yang sebenarnya dan sesungguhnya oleh segenap umat Katolik.

www.indocell.net/yesaya
atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

KITAB SUCI DAN BULAN KITAB SUCI NASIONAL



Sekarang kita telah memasuki bulan September, bulan yang oleh gereja digunakan sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Bulan Kitab Suci Nasional merupakan bulan yang secara khusus digunakan untuk membahas atau mengenal lebih jauh kitab suci, melalui sarasehan-sarasehan ataupun dalam betuk lain. Dalam bulan ini baik di gereja maupun di lingkungan pasti senantiasa diperdengarkan hal-hal yang berkaitan dengan kitab suci. Ada baiknya moment bulan kitab suci ini menjadikan saat bagi kita untuk kembali mendalami kitab suci atau yang paling sederhana kita membaca, entah satu atau dua ayat. Gereja telah menerbitkan kalender liturgi setiap tahunnya yang memuat bacaan-bacaan kitab suci harian maupun mingguan yang dapat kita gunakan sebagai pedoman bagi kita untuk membaca kitab suci. Saat ini pula tepat bagi kita (tidak mengesampingkan saat-saat yang lain) untuk menjadikan kitab suci menjadi bacaan yang inspiratif bagi kehidupan kita walaupun kadangkala hal itu menjadi sesuatu yang kurang menarik. Atau paling sangat sederhana kita tengok apakah kita masih mempunyai kitab suci atau tidak dan kondisinya bagaimana (Jangan-jangan karena tidak pernah disentuh, kitab suci kita hilang entah kemana).


Pada awalnya, Hari Minggu Kitab Suci Nasional diputuskan dalam rapat Majelis Wali Gereja Indonesia (MAWI 1977). Namun dalam perjalanan waktu, menjadi Bulan Kitab Suci Nasional yang ditutup dengan Pesta Santo Hieronimus pada tanggal 30 September.


Sebelum kita mengulas lebih jauh tentang Bulan Kitab Suci Nasional dan kitab suci itu sendiri serta hal-hal yang berhubungan dengan kitab suci, kita mengenal lebih dahulu arti kata kitab suci. Menurut Dr. Tom Jacobs, SJ kitab suci dan alkitab sama artinya. Alkitab adalah rumusan Arab sebagaimana kelihatan dari kata “Al.” Dan “Al” maksudnya “sang.” Jadi Alkitab adalah buku yang paling luhur dan paling unggul yakni “buku suci” atau “Kitab Suci”. Yang dimaksudkan ialah seluruh buku iman kristiani, baik yang disebut Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.


Sejarah terjadinya Kitab Suci kristiani, cukup panjang. Sebab itu berarti terjadinya sejarah Perjanjian Lama, sejarah pengungkapan iman bangsa Israel, dan sejarah Perjanjian Baru, pengungkapan iman Gereja Perdana. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdiri dari aneka tulisan. Maka baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mempunyai aneka sejarah. Setiap buku atau karangan mempunyai sejarahnya tersendiri. Tetapi ciri umum sejarahnya yang terdapat dalam hampir semua tulisan itu, ialah bahwa apa yang hidup di dalam jemaat dan yang dikenal dari komunikasi iman mereka, oleh seorang pengarang tertentu kemudian dirumuskan dan dibukukan. Maka secara umum, yang berlaku tentang sejarah semua tulisan Kitab Suci ialah “dari penghayatan iman kepada pengungkapan iman,” dan kemudian “sampai kepada perumusan dan penulisan iman” itu.


Pada saat ini kita mengenal dua kitab suci yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru. Akan tetapi kedua kitab itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ini dapat dijelaskan dengan uraian bahwa Gereja Perdana dan Gereja selanjutnya menerima Perjanjian Lama sebagai buku suci juga. Gereja melihat diri sebagai lanjutan dan perkembangan umat Allah yang terwujud dalam bangsa Israel. Dalam Perjanjian Lama, umat Allah masih sangat terbatas, dalam Perjanjian Baru umat Allah terarah kepada seluruh dunia, kepada segala bangsa, kepada setiap orang. Ini adalah hubungan yang pertama, bahwa sejarah keselamatan yang dimulai oleh Allah dengan bangsa Israel berkembang terus dan mencapai kepenuhan dalam Gereja segala bangsa. Tetapi masih ada satu hubungan lagi, ialah bahwa bangsa Israel senantiasa mengharapkan hubungan yang semakin sempurna dengan Allah. Dan kesatuan Allah dengan manusia yang paling sempurna terlaksana dalam diri Yesus dari Nazaret yang oleh kebangkitan-Nya diterima dalam kemuliaan Allah. Kesatuan mulia Kristus dengan Allah adalah dasar dan awal kesatuan seluruh umat manusia dengan Allah. Sebab semua orang dipanggil untuk mengambil bagian dalam hidup Allah yang mulia.


Kita sebagai orang Katolik sangat dianjurkan untuk membaca kitab suci. Bukan hanya pada saat bulan kitab suci saja melainkan setiap saat. Bahkan walaupun kita tidak membaca secara pribadi, setiap hari firman Tuhan itu akan diperdengarkan dalam Perayaan Ekaristi baik harian maupun mingguan. Akan tetapi kadang-kadang kita kurang bisa paham dan mengerti maksud dan tujuan dari sabda itu, bahkan kita juga kadang kurang mengerti akan pentingnya membaca kitab suci. Secara teologis, sangat jelas diuraikan bahwa membaca kitab suci penting karena kitab suci adalah sabda Tuhan. Orang Katolik sering dituduh kurang menghormati kitab suci, walau sebenarnya Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja tidak berada di atas sabda Tuhan melainkan melayani-Nya. Kita menerima sabda Tuhan dalam kitab suci sama dengan sabda yang menjadi daging dalam Perayaan Ekaristi. Jawaban teologis seperti di atas meungkin terasa kering bagi banyak orang. Pengalaman atau sharing dari Raymond E, Brown, S.S mungkin bisa sedikit membantu. Alasan yang saya anggap paling penting untuk membaca kitab suci ialah: sebagai orang kristiani saya (kita) menyadari bimbingan Tuhan bagi Gereja, Kitab suci menawarkan pengalaman umat Allah yang begitu panjang. Pengalaman mencari kehendak illahi dalam berbagai situasi. Dalam kitab suci saya (kita) pasti menemukan situasi yang sama dengan situasi yang kita alami atau situasi Gereja. Bila dalam buku-buku rohani orang menemukan hubungan antara pribadi tertentu dengan Tuhan, di dalam kitab suci orang mendapati hubungan pribadi maupun kolektif yang telah dijalin selama dua ribu tahun dengan Tuhan, dalam situasi yang amat bervariasi. Salah satu daya tarik dan keistimewaan membaca kitab suci adalah bila menemukan bahwa pengalaman yang dilukiskan di dalamnya ternyata sama dengan pengalaman kita sendiri. Apa yang dahulu pernah diperbuat Tuhan, kini juga masih dijalankan-Nya.


Tulisan ini mungkin belum mencakup seluruh seluk beluk Bulan Kitab Suci Nasional atupun kitab suci. Namun, paling tidak kita sedikit mengerti tentang seluk beluk kitab suci dan bulan kitab suci, yang tentunya akan membuka cakrawala kita dan membuat kita semakin rindu kepada Tuhan lewat sabda-sabdanya. @-Red.

Sugeng Rawuh

Selamat datang di LoncengBintaran, media komunikasi dan informasi Paroki St. Yusup Bintaran-Yogyakarta