KOMSOS BINTARAN

KOMSOS BINTARAN

18/01/08



Natal dan Kedamaian Lingkungan
Mgr. AM. Sutristnaatmaka, MSF


Rasanya kurang lengkap jika merayakan Natal tanpa hiasan pohon natal, palungan dalam goa, dan lampu-lampu. Dalam merayakan Natal, di mana pun, pernik-pernik itu tak pernah absen.
Pertanyaannya, apakah perayaan Natal bisa juga mengajak kita untuk berefleksi tentang makna iman yang menyentuh kedamaian lingkungan?


Dua ciri khas
Pohon Natal serta palungan dan kandang merupakan dua ciri khas penanda kelahiran Yesus. Tradisi pohon Natal konon dihubungkan dengan “Sandiwara Firdaus” yang sejak Abad Pertengahan dipentaskan di muka pintu gereja. Sejenis cemara dengan pelbagai hiasan itu layak ditampilkan karena pada musim dingin tetap hijau, menjadi simbol kehidupan; sementara pohon-pohon lain gugur daunnya, seirama dengan musim yang sedang berlangsung.


Palungan di kandang Betlehem merupakan ungkapan devosional, didasarkan Injil Lukas 2:6-20. Santo Fransiskus Asisi, pembela kaum miskin, pendendang “Kidung Matahari” amat menaruh perhatian pada satwa dan tetumbuhan. Dalam tradisi sesudahnya muncul doa, Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.


Paus Honorius III tahun 1223 memberikan izin kepada Fransiskus untuk menggambarkan misteri penjelmaan dengan menggunakan palungan, patung bayi Yesus, Maria, danYusuf, dilengkapi malaikat, gembala, domba, dan lainnya. Itulah kelengkapan perayaan peristiwa Natal, kelahiran Yesus dalam sejarah manusia.


Perayaan Natal juga menyentuh kedamaian lingkungan manakala dua ciri secara mendalam disadari maknanya. Sementara di sudut dunia lain terjadi peristiwa kelahiran “seorang bayi dibungkus lampin, terbaring di palungan,” dan di surga terdengar nyanyian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:12-14).


Lingkungan rusak
Salah satu masalah besar negara kita adalah merosotnya kualitas lingkungan hidup akibat meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta banyaknya bencana. Hal ini ditegaskan dalam laporan “STATUS Lingkungan Hidup Indonesia” yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Rusaknya lingkungan menjadi tanda tidak adanya kedamaian manusia dengan lingkungannya.


Perhelatan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali menegaskan status kerusakan lingkungan di tingkat internasional. Kian disadari, perubahan iklim berdampak menyengsarakan penduduk dunia. Tidak mengherankan, ketika musim hujan datang, banjir dan tanah longsor mengancam; ketika kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak tempat. Pelbagai usaha dilakukan untuk mencari sebab terjadinya perubahan iklim. Juga dipikirkan cara penanggulangannya meski hasilnya masih perlu ditunggu.


Setelah krisis beruntun, berbagai bencana muncul karena kerusakan lingkungan dan baru disadari perlunya memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Alam dieksploitasi dengan serakah sebagai bahan produksi, tanpa memperhatikan ekosistem. Solusinya, antara lain, dengan green production, produksi ramah lingkungan.


Namun, perusakan lingkungan terus berlangsung. Kasus pembalakan liar, pembabatan dan pembakaran hutan, menjadi pemicu rusaknya “paru-paru” dunia. Penambangan menghasilkan limbah beracun yang mencemari air sungai, dan menimbulkan perbagai macam penyakit. Bencana alam yang silih berganti: gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api, badai dan angin ribut, berdampak besar bagi lingkungan hidup. Air laut pasang pun menunjukkan dampak pemanasan global.


Kedamaian lingkungan
Perayaan Natal merupakan ungkapan sekaligus perwujudkan iman akan kasih Allah untuk umat manusia. Namun, jika iman masih direfleksi sebatas hubungan manusia dengan Tuhan, dan tak membawa serta orang beriman untuk melibatkan hidup sehari-hari termasuk di dalamnya alam sekitar dan lingkungan, maka manusia akan terperangkap dalam kesulitan yang kian besar. Memisahkan ungkapan iman dalam perayaan ibadat dan perwujudan nyata untuk sesama dan lingkungan tak lagi merupakan penghayatan dan pengamalan iman yang utuh dan lengkap.


Tepatlah bahwa perayaan Natal disertai bakti sosial, kunjungan ke penjara, panti asuhan, tempat pengungsian, dan lainnya. Itulah perwujudan kasih Allah dalam program kedatangan dan karya Yesus: “...Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin ...memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan orang-orang buta, membebaskan orang tertindas ...” (Lukas 4:18-19).


Perlu ditambahkan, dalam konteks zaman sekarang, refleksi iman (teologi) berkembang menjangkau kawasan lingkungan hidup. Jika kedamaian lingkungan terusik dan menimbulkan pemanasan global yang menyengsarakan, maka mata iman selayaknya tertuju kepada pemberitaan kabar baik tentang kedamaian lingkungan dan pembebasannya dari kerusakannya. Kita diingatkan pada kisah penciptaan, ketika segala sesuatu baru diciptakan Tuhan: tumbuh-tumbuhan berbiji, pohon-pohon, hewan, manusia, dan “semua itu sungguh amat baik adanya” (Kejadian 1-2).


Menciptakan harmoni kehidupan yang menyentuh semua unsurnya menjadi urusan tiap orang beriman dari semua agama. Kedamaian lingkungan menjadi keprihatinan dan kerinduan semua orang yang berkehendak baik. Perayaan Natal bisa menjadi momen pembangkit kesadaran untuk berusaha memperbaiki lingkungan dari kerusakannya; sekaligus memberi pengharapan bahwa Allah yang penuh kasih tak akan menyia-nyiakan usaha manusia. Natal bisa memperbarui visi-misi umat beriman untuk mengungkapkan imannya akan Tuhan dengan meningkatkan martabat manusia dan mengusahakan kedamaian lingkungan. Partisipasi dalam penanaman dan pemeliharaan pohon dan usaha-usaha lain untuk memperbaiki lingkungan hidup bisa menjadi penghayatan dan pengamalan iman dalam merayakan Natal kali ini. (Sumber: Kompas, 24 Desember 2007, hlm. 6).


Mgr. AM. Sutristnaatmaka, MSF

Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah


Mengharapkan Bumi dan Langit Baru
Mgr. I. Suharyo, Pr


Beberapa tahun lalu saya melihat sebuah iklan terpampang di tempat yang amat strategis, di salah satu pintu masuk kota Yogyakarta. Iklan itu memuat gambar mulut orang yang terisi – mungkin lebih tepat dijejali – berbagai macam buah.


Mulut itu begitu penuh sampai kelihatan menganga amat lebar, hampir sobek. Saya bertanya dalam hati, masihkah itu disebut mulut? Iklan yang terpampang selama sekitar tiga tahun itu rupanya ingin mengatakan kepada orang-orang yang melihat, betapa enaknya produk makanan yang ditawarkan itu. Waktu saya melihatnya, dalam hati saya bertanya, bukankah iklan ini mencerminkan salah satu watak zaman, serakah?


Keserakahan inilah yang antara lain membuat Indonesia kehilangan julukan zamrud khatulistiwa, lalu menyandang sebutan baru sebagai negara penghancur hutan tercepat (Tempo, 41/XXXVI/3-9 Desember 2007). Keserakahan ini pula yang kiranya membuat Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali tidak mudah menghasilkan keputusan bersama. Keserakahan ini pula yang menempatkan Indonesia pada urutan ketiga paling rawan terkena dampak pemanasan global (Kompas, 12/12/2007, hlm. 13). Keserakahan itu tak hanya merusak Bumi, tetapi juga menjadikan manusia penyembah berhala. Menurut perspektif Kristiani, serakah sama dengan menyembah berhala (bdk. Ef 5:5).


Langit baru Bumi baru
Natal adalah peringatan kedatangan Yesus ke dunia lebih dari dua milenium lalu (Luk 2:1-8). Kedatangan Yesus juga diharapkan pada pemenuhan waktu, ketika Allah menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28). Namun, kedatangan Yesus tidak hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. “Hari ini”, Ia juga harus dilahirkan di tengah dunia nyata (Luk 2:11). Ketiga makna ini terkait harapan akan masa depan yang damai dan sejahtera. Beginilah Nabi Yesaya menubuatkan kedatangan Yesus, “…seorang anak telah lahir untuk kita… dan namanya disebutkan orang …Raja Damai…dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan…karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran” (9:5-6).


Zaman damai sejahtera itu digambarkan sebagai suatu harmoni alam semesta sebagaimana dinubuatkan oleh nabi yang sama, “serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing…anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, dan seorang anak kecil akan menggiringya…tidak ada yang akan berbuat jahat atau berlaku busuk…sebab seluruh Bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan” (Yes 11:6-9).


Pada zaman itu Bumi akan menjadi amat subur,” …pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran” (Am 9:13-14).


Rusaknya relasi antara Allah dan manusia serta antara manusia (bdk. Kej 11) akan diatasi. Demikian juga alam yang hancur karena kejahatan manusia (Kej 6-7) akan dipulihkan. Akan terwujudlah langit baru dan Bumi baru (bdk. Why 21:1-8). Nyatakah harapan itu?


Hidup dengan bijaksana
Ajakan untuk hidup bijaksana itu adalah bagian dari ajakan yang disampaikan dalam pesan Natal bersama oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berjudul “Hiduplah dengan Bijaksana, Adil, dan Beribadah”. Agar dapat hidup bijaksana, umat Kristiani diimbau supaya tekun mendengarkan firman Allah agar kebijaksanaan Ilahi meresapi pikiran dan hati.


Dalam konteks Natal dan situasi aktual zaman ini, hati dan pikiran yang diresapi kebijaksanaan Ilahi menggerakkan orang untuk – baik sendiri-sendiri maupun bersama – ikut membangun langit baru dan Bumi baru sehingga harapan menjadi kenyataan.


Di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, seorang pemimpin komunitas iman mengembangkan Gerakan Masyarakat Cinta Air dalam rangka konsientisasi dan edukasi masyarakat akar rumput. Di Bantul, DI Yogyakarta, ada orang lain lagi yang selama 25 tahun menghutankan sekitar 400 hektar bukit kapur kritis serta membentuk sebanyak dua belas kelompok tani pencinta lingkungan (Kompas, 16/12/2007).


Pada tingkat global ada berita gembira, Peta Jalan Bali disepakati para peserta Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, termasuk AS.


Dalam perspektif Kristiani, itu semua adalah wujud kecil atau awal langit baru dan Bumi baru. Prakarsa seperti inilah yang antara lain diamanatkan khususnya kepada umat Kristiani yang merayakan Natal. Kalau demikian, perayaan Natal menjadi ibadah sejati dan bermakna, bukan sekadar ibadah basa-basi.


Selamat Natal 2007 dan Selamat Tahun Baru 2008.

(Sumber: Kompas, 24 Desember 2007, hlm. 1 dan 15).
Mgr. I. Suharyo, Pr

Uskup Keuskupan Agung Semarang.

TERLIBAT,
Persembahan Terbaik bagi Dia
F.X. Agus S Gunadi, Pr



Mau Hebat, Ayo Terlibat



Bintaran, duapuluh lima Desember dua ribu tujuh. Persis di depan altar, di atas tempat duduk umat bagian depan, terpampang spanduk besar bertuliskan, “MAU HEBAT, AYO TERLIBAT!” Hurufnya besar-gemuk, pesannya amat tajam menusuk, dan peletakannya seolah-olah memaksa setiap orang untuk membacanya! Saya tidak tahu pesan itu untuk siapa, maksudnya untuk seluruh umat atau secara khusus ajakan untuk anak-anak dan remaja. Bukankah tahun 2008 ini Keuskupan Agung Semarang menetapkannya sebagai tahun anak dan remaja. Bagaimanapun juga, saya merasa senang membaca tulisan yang terpampang gagah itu. Luar biasa, gagasan yang brilian entah dari siapa yang empunya tulisan itu.


Sampai suatu ketika, salah seorang umat membisikkan kata-kata ini, “Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Wuih, kata ini jauh lebih tajam menghujam sanubari saya. Hati saya tergetar. Kata-kata itu menantang saya untuk mengoreksi kebanggaan saya selama ini! Ya ya ya, betul, bukankah sikap yang keliru kalau keterlibatan di Gereja itu untuk sebuah upah bernama kehebatan? Apalagi itu dikatakan oleh seseorang yang begitu rendah hati dalam kata dan tindakan, dan penuh tanggung jawab dalam perutusan iman! Saya malu dengan ketidakpekaan saya akan ungkapan spanduk tersebut. Uuntuk menghibur diri dan menutupi rasa malu itu saya mencoba mencari pembenaran: bukankah wajar keterlibatan berupah pada perasaan hebat, bukankah biasa bahwa orang ingin diakui perannya juga pada perkara iman dan hidup menggereja, bukankah… , bukankah…. Namun, semua itu hanyalah pembenaran. Jauh dalam lubuk hati , nurani berbisik: betul perkataan itu, terlibat bukan karena mau hebat! Inilah hadiah Natal terlindah untuk saya saat ini.


Bercermin pada Allah dan Abraham
Perayaan Natal ini begitu dekat dengan perayaan Idul Adha. Idul Qurban tanggal 20 Desember, Natal 25 Desember. Saya tergoda untuk menghubungkan keduanya. Supaya juga memberi pencerahan pada arah komunikasi iman dalam kemajemukan agama di tengah masyarakat kita. Ngiras pantes mencari titik temu kedua perayaan keagamaan tersebut. Apa sih relevansi Natal dan Adul Adha? Apa sih hakikat Natal? Mengapa Natal menjadi hari yang begitu istimewa bagi sebagian besar penduduk dunia? Apa bedanya dengan hari-hari atau perayaan-perayaan lain? Tuhan yang selama ini dipahami sebagai yang mahatinggi, tidak terjangkau, duduk di singgasana surga, kini rela menjelma menjadi seorang manusia. Bapa yang mahakuasa dan kekal, nun jauh di atas langit, mengambil pilihan untuk mencintai manusia dengan mengutus Putera-Nya ke dunia. Inilah hakikat sukacita Natal. Kemudian kita bertanya diri, siapakah saya, sehingga Tuhan sudi mencurahkan cinta dan kepedulian-Nya pada nasib saya manusia?


Tidak ada jawaban yang bersumber pada kebaikan kita. Bukan karena kita suci. Bukan juga karena rajin beribadah atau ziarah. Bukan pula karena kita seorang yang selalu terlibat dalam hidup berjemaat. Bukan, sama sekali bukan. Bahkan kelahiran dan penebusan Yesus bukan saja untuk kita, tetapi untuk dunia. Jadi, bahkan sukacita itu seharusnya meluap pada diri seorang yang telah 28 tahun tidak beribadah, mereka yang selama ini imannya “tidur”, mereka yang bahkan walau mengaku Katolik tetapi tidak utuh, karena melalaikan tradisi “ngaku dosa”. Jadi, sumber sukacita itu karena Allah. Tidak karena manusia. Allah mengambil pilihan dan keputusan untuk datang menebus dunia, seluruh umat manusia! Luar biasa bukan! Dengan itu, atas cinta-Nya yang murni, tanpa pamrih, Allah memberikan hadiah terbaik bagi umat manusia, yaitu pemberian diri-Nya sendiri untuk kita! Puji Tuhan.


Apa yang dirayakan dalam Idul Adha? Stop, jangan terpancing untuk berdebat dengan emosi fanatis tentang siapa sesungguhnya anak yang dikorbankan Bapa Abraham, Nabi Ibrahim! Mari kita renungkan bersama esensi perayaan itu sendiri. Seorang bapa, bapa orang beriman, bapa bagi jemaat Muslim, Yahudi, dan Kristen, mempersembahkan yang terbaik bagi Allah! Betul, mari masuk dalam relung renung kejujuran hati kita dan mulai bertanya: harta apa lagi yang lebih berharga bagi orang tua, kalau bukan anak yang amat dikasihinya. Apalagi kalau diingat bahwa itu adalah anak satu-satunya yang bahkan dijanjikan oleh Allah akan beranakpinak seperti pasir di samudra dan sebanyak bintang di langit! Abraham mempersembahkan pisungsung yang terbaik bagi Allah! Anak yang sungguh digadhang-gadhang, ketika diminta oleh Tuhan, dipersembahkannya dengan segala kerelaan dan ketakwaan seorang beriman.


Peristiwa Natal menjadi cermin bagi kita umat beriman tentang siapa Tuhan yang kita imani. Tuhan ternyata seorang Bapa yang mempunyai hati bagi umat manusia. Dia telah memberikan yang terbaik, teristimewa, kepada kita dengan mengutus Putera Tunggal-Nya menjelma menjadi manusia untuk tebusan bagi dosa-dosa kita. Sementara peristiwa Idul Adha adalah persembahan tulus seorang manusia yang sedemikian takwa kepada Allah. Yang dipersembahkan oleh Nabi Ibrahim adalah darah dagingnya sendiri. Yang terbaik, yang teristimewa, hanya bagi Tuhan. Inilah cermin hidup manusia. Inilah inspirasi bagi hidup kita sekarang ini.


Kalau hari-hari ini kita dihadapkan pada cermin bening cetha wela-wela persembahan Allah dan persembahan Abraham, setiap pribadi ditantang dengan pertanyaan: mau ke manakah arah peziarahan iman kita ke depan, memasuki tahun 2008?


Pisungsung Tanpa Pamrih
“Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Kata-kata ini sampai sekarang masih begitu jelas menggema dalam benak saya, merasuki seluruh jiwa saya, meresap sampai ke balung-sumsum saya. Mungkinkah kita melepaskan diri dari kultur yang begitu rekat dalam hidup masyarakat pada umumnya, yaitu pamrih? Memang, hampir dalam segala kegiatan, bahkan kalaupun itu kegiatan sosial, ada saja pamrih di baliknya! Mari dengan jujur metani diri sendiri, adakah sesuatu yang saya perjuangkan, saya gulati, saya libati, tanpa pamrih apa pun? Bahkan kalau itu kegiatan-kegiatan sosial keagamaan? Kalaupun pamrih itu bukan hal-hal material. Saya ibadah karena ingin masuk surga; berdoa karena ingin dikabulkan permohonannya; ziarah dan novena supaya keinginannya tercapai; kegiatan lingkungan supaya tidak terkucilkan; baik dengan tetangga supaya kalau ada apa-apa ada yang peduli; dan sebagainya.


Kalau mau jujur, hampir selalu saja ada pamrih, kalaupun pamrih itu tidak kita sadari. Betapa saya kecewa kalau dalam kepanitiaan saya dikatakan tidak becus. Saya tersinggung kalau dikomentari tidak sukses. Saya kecewa ketika orang mengatakan saya kurang siap membawakan acara. Saya sungguh menaruh harapan bahwa terhadap pekerjaan saya, orang akan mengatakan proficiat, selamat, sukses, dan kata-kata senada. Saya ternyata jauh dari tulus, jauh dari “bersih” tanpa pamrih.


Abraham dan Allah semestinya menjadi cermin bagi peziarahan iman kita. Dua hal yang bisa kita bawa sebagai bekal memasuki tahun 2008. Pertama, ada pekerjaan rumah yang ada di hadapan kita: membersihkan diri dari pamrih dalam keterlibatan hidup sosial dan gerejani! Kedua, mendorong diri untuk memberi “pisungsung” terbaik bagi Allah! Bersih dari pamrih, pastilah tidak mudah dan tidak harus sungguh sempurna. Bekerjalah sewajarnya dengan mengharapkan upah untuk hidup. Cintailah keluarga dengan sepenuh hati, syukur-syukur kita pun mendapatkan kelimpahan cinta dalam keluarga. Bangunlah persaudaraan dan persahabatan dalam hidup bermasyarakat, supaya hidup lebih nyaman. Namun, terutama dalam aktivitas iman gerejani, paksakanlah diri untuk menghindari pamrih, sekalipun sedikit apa pun!


Tentang pemberian pisungsung terbaik bagi Allah, wujudnya bisa bermacam-macam. Intinya adalah dalam segala pewujudan pisungsung itu, optimalkanlah ketulusan dan kebesaran hati dalam persembahan diri! Yang namanya memberi itu pastilah disertai dengan “kehilangan”. Pertanyaan introspeksi: adakah usaha misungsungke hidup kita kepada Allah sampai sekarang ini membuat saya merasa kehilangan sesuatu secara signifikan? Kalau belum, kita mungkin belum optimal mempersembahkan diri! Apakah kita sudah merasa berpayah-payah dalam mengabdi Tuhan dan sesama? Adakah kita sudah keronto-ronto memberi kesaksian tentang kebaikan Allah di tengah masyarakat? Adakah kita telah berpuasa dan matiraga menyisihkan hasil jerih payah kita untuk tegak berdirinya Bait Allah Gereja Bintaran yang di sana-sini butuh perbaikan akibat gempa?


Lepas Bebas
Muara dari seluruh pergulatan hidup melucuti diri dari pamrih adalah sikap lepas bebas! Artinya melepaskan diri dari segala pamrih, dalam keterlibatan hidup iman. Pamrih adalah upah. Kita tidak mau mendapatkan upah. Entah itu nama baik, sanjungan, apalagi hadiah. Kita ingin menjadi mawar. Seperti mawar yang menampilkan keindahan dan keharuman bukan saja untuk mereka yang mencintainya, namun juga bahkan untuk si pemetik jahat yang siap dengan pisaunya, demikianlah juga kita hendaknya!


Tentang itu ada teladan yang demikian dekat dengan kita. Mari kita kenang Rama FA. Martana Pr yang wafat 1.000 hari yang lalu. Dia adalah putra Bintaran, putra bapa Abraham leluhur kita. Semangat iman dan motto imamatnya kira-kira begini: “Dia harus semakin besar, aku harus semakin kecil. “ Itulah semangat Yohanes Pembaptis. Rama Martana menghidupi semangat itu secara sungguh-sungguh. Dia samasekali tidak haus pujian, sekecil apa pun. Dia menghindar dari segala publikasi. Bahkan mungkin kita yang separoki ini tidak kenal dengan dia. Dia bekerja, mengabdi, demi kebesaran nama Tuhan: Ad Maiorem Dei Gloriam. Sebagai seorang imam, dia memilih pekerjaan yang paling rendah, yang paling dihindari, yang paling hina! Semangat mati raganya luar biasa. Sampai hala-hal fisik, tidur di atas papan, makan sederhana, dan memilih pekerjaan yang paling dihindari orang. Pernah ketika menjadi pamong Seminari Menengah Mertoyudan, setiap siang dia membersihkan belasan lubang WC seminarisnya hanya dengan sikat tanpa gagang panjang! Dengan senang hati dia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menurut ukuran manusia tidak terhormat. Sekalipun amat potensial dalam banyak hal, dia memilih untuk melayani umat di pedalaman Kalimantan. Pada akhirnya, semangat menanggalkan ke-aku-an, semangat tanpa pamrih, semangat lepas bebas supaya hanya Allah dimuliakan, dipenuhi oleh Allah dengan anugerah salib-Nya, yaitu sakit kanker lidah yang mengantarnya menghadap Sang Khalik! Pada saat-saat menjelang akhir hidupnya, dalam derita yang amat sangat, semakin tampak kemuliaan Allah yang terpancar pada wajahnya yang selalu tersenyum tanpa pamrih itu!


Bapa Abraham, Rama Martana, Pak Warsa, Bu Bina, Mbak Yekti, Mas Markus, Dik Ari, Om Robert, kita semua, dipanggil untuk membawa tongkat estafet perutusan iman: Ad Maiorem Dei Gloriam. Bercermin pada pemberian diri Allah di satu sisi, dan pisungsung terbaik Abraham di sisi lain, mari kita berani membuat komitmen iman: mempersembahkan hidup yang terbaik bagi kemuliaan Allah. Tanpa pamrih, lepas bebas. Ayo terlibat, bukan karena mau hebat!


Selamat Natal 2007 dan Tahun baru 2008.


Tuhan memberkati.
Rama F.X. Agus Suryana Gunadi, Pr

adalah Pastor Kepala Paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta.

Sugeng Rawuh

Selamat datang di LoncengBintaran, media komunikasi dan informasi Paroki St. Yusup Bintaran-Yogyakarta