HUKUM GEREJA MENGENAI PERNIKAHAN KATOLIK
Arti Perkawinan Katolik
Arti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan.1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
Tujuan perkawinan
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).
Sifat dasar perkawinan Katolik.
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141).
Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti tatacara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi perkawinan itu terjadi antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik.
Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061) sedangkan perkawinan antara orang yang salah satunya tidak Katolik disebut perkawinan non ratum. Perkawinan ratum, setelah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang ratum et consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu pasangan (kan. 1142)
Kesepakatan nikah
Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang menikah adalah satu-satunya unsur penentu yang “membuat “perkawinan itu sendiri. Kesepakatan ini harus muncul dari pasangan suami-isteri itu sendri, bukan dari orang lain.
Kesepakatan ini mengandaikan kebebasan dari masing-masing pihak untuk meneguhkan perkawinannya. Ini berarti masing-masing pihak harus 1bebas dari paksaan pihak luar, 2tidak terhalang untuk menikah, dan 3mampu secara hukum. Kesepakatan ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum.
Gereja melarang adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan. Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai ada atau bereksistensi sejak terjadinya kesepakatan nikah . Namun perkawinan sakramen itu baru tak terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena setelah itu menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek kesepakatan nikah adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae yang terarah pada 3 tujuan perkawinan di atas.
Penataan hukum
Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu 1 hukum ilahi, 2 hukum kanonik, dan 3hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia sebagai berasal dari Allah sendiri.
Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat perkawinan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11). Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dsb.
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.
Penyelidikan kanonik
Penyelidikan sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai penyelidikan kanonik. Penyelidikan ini dimaksud agar imam atau gembala umat mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti sah (valid) dan layak (licit) karena yakin bahwa tidak ada halangan yang bisa membatalkan dan tidak ada larangan yang membuat perkawinan tidak layak. Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan.
Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidakadanya halangan dan larangan, serta pemahaman calon akan perkawinan Kristiani. Secara khusus di bawah ini akan dipaparkan halangan-halangan nikah yang mesti diketahui baik oleh calon, maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan oleh seluruh umat yang mengenal calon. (Rm. Erwin Santoso MSF)
BEDA SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN
Arti Perkawinan Katolik
Arti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan.1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
Tujuan perkawinan
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).
Sifat dasar perkawinan Katolik.
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141).
Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti tatacara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi perkawinan itu terjadi antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik.
Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061) sedangkan perkawinan antara orang yang salah satunya tidak Katolik disebut perkawinan non ratum. Perkawinan ratum, setelah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang ratum et consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu pasangan (kan. 1142)
Kesepakatan nikah
Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang menikah adalah satu-satunya unsur penentu yang “membuat “perkawinan itu sendiri. Kesepakatan ini harus muncul dari pasangan suami-isteri itu sendri, bukan dari orang lain.
Kesepakatan ini mengandaikan kebebasan dari masing-masing pihak untuk meneguhkan perkawinannya. Ini berarti masing-masing pihak harus 1bebas dari paksaan pihak luar, 2tidak terhalang untuk menikah, dan 3mampu secara hukum. Kesepakatan ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum.
Gereja melarang adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan. Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai ada atau bereksistensi sejak terjadinya kesepakatan nikah . Namun perkawinan sakramen itu baru tak terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena setelah itu menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek kesepakatan nikah adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae yang terarah pada 3 tujuan perkawinan di atas.
Penataan hukum
Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu 1 hukum ilahi, 2 hukum kanonik, dan 3hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia sebagai berasal dari Allah sendiri.
Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat perkawinan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11). Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dsb.
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.
Penyelidikan kanonik
Penyelidikan sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai penyelidikan kanonik. Penyelidikan ini dimaksud agar imam atau gembala umat mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti sah (valid) dan layak (licit) karena yakin bahwa tidak ada halangan yang bisa membatalkan dan tidak ada larangan yang membuat perkawinan tidak layak. Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan.
Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidakadanya halangan dan larangan, serta pemahaman calon akan perkawinan Kristiani. Secara khusus di bawah ini akan dipaparkan halangan-halangan nikah yang mesti diketahui baik oleh calon, maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan oleh seluruh umat yang mengenal calon. (Rm. Erwin Santoso MSF)
BEDA SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN
- Sakramen perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh dua orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji setia satu sama lain sampai mati memisahkan mereka, dan mereka berjanji saling menghormati dan mencintai, dengan modelnya atau contohnya adalah Tuhan Jesus Kristus yang mencintai secara total umat manusia (modelnya bukan artis atau manusia yang mencintai Tuhan, tapi Tuhan yang mencintai umat manusia seluruhnya). Sedangkan pemberkatan perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijanakan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di hadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti isi janjinya sama: setia sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati, hanya modelnya yang berbeda karena yang katolik akan memakai model Jesus yang mencintai, sedang yang Islam memakai muhamad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha atau orang tuanya sebagai model. Pernikahan beda agama demikian oleh karenanya tidak menjadi sakramen karena pihak yang tidak katolik tidak atau belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah bagi pasangannya, bahkan dia tidak/belum percaya pada sakramen itu. Kalau pihak non katolik kemudian hari menjadi katolik dan percaya bahwa dirinya adalah sakramen, maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen, tidak perlu ada pembaruan pernikahan beda agama yang telah mereka lakukan di gereja.
- Yang paling sedikit berbeda antara upacara sakramen dengan pemberkatan paling adalah pertanyaan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam, juga pihak non katolik tidak diwajibkan untuk berdoa secara katolik tentu saja.
- Tatacara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan. Intinya adalah pasangan masing-masing menjawab beberapa pertanyaan mengenai keikhlasan hati untuk melangsungkan perkawinan, mereka mengucapkan janji perkawinan dengan intinya adalah kesetiaan, saling mengasihi dan menghormati sampai kematian memisahkan, pengesahan perkawinan oleh imam, doa pemberkatan oleh imam bagi pasangan itu, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan, penandatanganan dokument perkawinan.
- Tidak ada tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak langsung, karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks upacara perkawinan dan pihak non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang katolik. Maka tatacara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Yang mengganggu biasanya justru kalau pernikahan itu dilangsungkan di mesjid karena pihak katolik harus mengucapkan syahadat, atau di beberapa gereja protestan karena pihak katolik harus dibaptis secara protestan. Untuk jadi orang katolik tidak mudah, harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes wawancara dengan pastor, melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan dibaptis. Gereja katolik tidak rakus pengikut, karena yang penting bukan banyaknya, tetapi mutunya pengikut Jesus. “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih,” kata injil. Semua dipanggil, tetapi kalau belum terpilih ya tidak akan pernah menjadi orang katolik.
- Perkawinan adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari pihak katolik. Bahkan orang katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik pun janjinya diketahui pihak non-katolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar