31/08/09
19/07/09
SEPUTAR PERKAWINAN
HUKUM GEREJA MENGENAI PERNIKAHAN KATOLIK
Arti Perkawinan Katolik
Arti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan.1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
Tujuan perkawinan
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).
Sifat dasar perkawinan Katolik.
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141).
Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti tatacara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi perkawinan itu terjadi antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik.
Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061) sedangkan perkawinan antara orang yang salah satunya tidak Katolik disebut perkawinan non ratum. Perkawinan ratum, setelah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang ratum et consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu pasangan (kan. 1142)
Kesepakatan nikah
Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang menikah adalah satu-satunya unsur penentu yang “membuat “perkawinan itu sendiri. Kesepakatan ini harus muncul dari pasangan suami-isteri itu sendri, bukan dari orang lain.
Kesepakatan ini mengandaikan kebebasan dari masing-masing pihak untuk meneguhkan perkawinannya. Ini berarti masing-masing pihak harus 1bebas dari paksaan pihak luar, 2tidak terhalang untuk menikah, dan 3mampu secara hukum. Kesepakatan ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum.
Gereja melarang adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan. Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai ada atau bereksistensi sejak terjadinya kesepakatan nikah . Namun perkawinan sakramen itu baru tak terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena setelah itu menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek kesepakatan nikah adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae yang terarah pada 3 tujuan perkawinan di atas.
Penataan hukum
Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu 1 hukum ilahi, 2 hukum kanonik, dan 3hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia sebagai berasal dari Allah sendiri.
Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat perkawinan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11). Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dsb.
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.
Penyelidikan kanonik
Penyelidikan sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai penyelidikan kanonik. Penyelidikan ini dimaksud agar imam atau gembala umat mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti sah (valid) dan layak (licit) karena yakin bahwa tidak ada halangan yang bisa membatalkan dan tidak ada larangan yang membuat perkawinan tidak layak. Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan.
Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidakadanya halangan dan larangan, serta pemahaman calon akan perkawinan Kristiani. Secara khusus di bawah ini akan dipaparkan halangan-halangan nikah yang mesti diketahui baik oleh calon, maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan oleh seluruh umat yang mengenal calon. (Rm. Erwin Santoso MSF)
BEDA SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN
Arti Perkawinan Katolik
Arti perkawinan katolik menurut KHK1983 kan.1055 §1 adalah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48). GS dan KHK tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
Tujuan perkawinan
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).
Sifat dasar perkawinan Katolik.
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum)secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (kan. 1141).
Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti tatacara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi perkawinan itu terjadi antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik.
Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis disebut ratum (kan. 1061) sedangkan perkawinan antara orang yang salah satunya tidak Katolik disebut perkawinan non ratum. Perkawinan ratum, setelah disempurnakan dengan persetubuhan (consummatum) menjadi perkawinan yang ratum et consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu pasangan (kan. 1142)
Kesepakatan nikah
Kesepakatan nikah atau perjanjian (foedus) yang dibuat oleh kedua pihak yang menikah adalah satu-satunya unsur penentu yang “membuat “perkawinan itu sendiri. Kesepakatan ini harus muncul dari pasangan suami-isteri itu sendri, bukan dari orang lain.
Kesepakatan ini mengandaikan kebebasan dari masing-masing pihak untuk meneguhkan perkawinannya. Ini berarti masing-masing pihak harus 1bebas dari paksaan pihak luar, 2tidak terhalang untuk menikah, dan 3mampu secara hukum. Kesepakatan ini harus dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum.
Gereja melarang adanya pernikahan bersyarat. Setiap pernikahan bersyarat selalu menggagalkan perkawinan. Gereja mengikuti teori dari Paus Alexander III (1159-1182) bahwa perkawinan sakramen mulai ada atau bereksistensi sejak terjadinya kesepakatan nikah . Namun perkawinan sakramen itu baru tak terceraikan mutlak setelah disempurnakan dengan persetubuhan, karena setelah itu menghadirkan secara sempurna dan utuh kesatuan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya. Objek kesepakatan nikah adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae yang terarah pada 3 tujuan perkawinan di atas.
Penataan hukum
Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu 1 hukum ilahi, 2 hukum kanonik, dan 3hukum sipil sejauh menyangkut akibat-akibat sipil. Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia sebagai berasal dari Allah sendiri.
Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagai pembuat perkawinan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik). Hukum kanonik atau hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11). Sedangkan hukum sipil adalah hukum yang berhubungan dengan efek sipil yang berlaku di daerah ybs., misalnya di Indonesia ini, ada hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti usia calon, pencatatan sipil, dsb.
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.
Penyelidikan kanonik
Penyelidikan sebelum perkawinan, dalam prakteknya disebut sebagai penyelidikan kanonik. Penyelidikan ini dimaksud agar imam atau gembala umat mempunyai kepastian moral bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan nanti sah (valid) dan layak (licit) karena yakin bahwa tidak ada halangan yang bisa membatalkan dan tidak ada larangan yang membuat perkawinan tidak layak. Kepastian ini harus dimiliki demi menjaga kesucian perkawinan.
Hal-hal yang diselidiki adalah soal status bebas calon, tidakadanya halangan dan larangan, serta pemahaman calon akan perkawinan Kristiani. Secara khusus di bawah ini akan dipaparkan halangan-halangan nikah yang mesti diketahui baik oleh calon, maupun oleh mereka yang menjadi saksi, bahkan oleh seluruh umat yang mengenal calon. (Rm. Erwin Santoso MSF)
BEDA SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN
- Sakramen perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh dua orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji setia satu sama lain sampai mati memisahkan mereka, dan mereka berjanji saling menghormati dan mencintai, dengan modelnya atau contohnya adalah Tuhan Jesus Kristus yang mencintai secara total umat manusia (modelnya bukan artis atau manusia yang mencintai Tuhan, tapi Tuhan yang mencintai umat manusia seluruhnya). Sedangkan pemberkatan perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijanakan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di hadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti isi janjinya sama: setia sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati, hanya modelnya yang berbeda karena yang katolik akan memakai model Jesus yang mencintai, sedang yang Islam memakai muhamad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha atau orang tuanya sebagai model. Pernikahan beda agama demikian oleh karenanya tidak menjadi sakramen karena pihak yang tidak katolik tidak atau belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah bagi pasangannya, bahkan dia tidak/belum percaya pada sakramen itu. Kalau pihak non katolik kemudian hari menjadi katolik dan percaya bahwa dirinya adalah sakramen, maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen, tidak perlu ada pembaruan pernikahan beda agama yang telah mereka lakukan di gereja.
- Yang paling sedikit berbeda antara upacara sakramen dengan pemberkatan paling adalah pertanyaan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam, juga pihak non katolik tidak diwajibkan untuk berdoa secara katolik tentu saja.
- Tatacara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan. Intinya adalah pasangan masing-masing menjawab beberapa pertanyaan mengenai keikhlasan hati untuk melangsungkan perkawinan, mereka mengucapkan janji perkawinan dengan intinya adalah kesetiaan, saling mengasihi dan menghormati sampai kematian memisahkan, pengesahan perkawinan oleh imam, doa pemberkatan oleh imam bagi pasangan itu, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan, penandatanganan dokument perkawinan.
- Tidak ada tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak langsung, karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks upacara perkawinan dan pihak non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang katolik. Maka tatacara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Yang mengganggu biasanya justru kalau pernikahan itu dilangsungkan di mesjid karena pihak katolik harus mengucapkan syahadat, atau di beberapa gereja protestan karena pihak katolik harus dibaptis secara protestan. Untuk jadi orang katolik tidak mudah, harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes wawancara dengan pastor, melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan dibaptis. Gereja katolik tidak rakus pengikut, karena yang penting bukan banyaknya, tetapi mutunya pengikut Jesus. “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih,” kata injil. Semua dipanggil, tetapi kalau belum terpilih ya tidak akan pernah menjadi orang katolik.
- Perkawinan adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari pihak katolik. Bahkan orang katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik pun janjinya diketahui pihak non-katolik.
TOKOH
Albertus Soegijapranata
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 November 1896 – wafat di Steyl, Belanda, 10 Juli 1963 pada umur 66 tahun, namanya dieja Sugiyopranoto) adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Ia juga merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama. Sebagai seorang Pahlawan Nasional RI, berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.
Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Van Lith, SJ. Sekolah ini pindahan dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, SJ dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci (OSC) di Uden, Belanda Utara, di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok - Muntok - Belawan - Sabang - Singapore - Colombo - Terusan Suez dan terus ke Amsterdam. Kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, SJ, yang kelak menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia yang pertama. 1923-1926 Belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastrich.
Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastrich. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940. Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh Cardinal Montini (kelak menjadi Paus Pius XII). Soegijapranata menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. AJE Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).
Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 November 1896 – wafat di Steyl, Belanda, 10 Juli 1963 pada umur 66 tahun, namanya dieja Sugiyopranoto) adalah Vikaris Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Ia juga merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama. Sebagai seorang Pahlawan Nasional RI, berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.
Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta.
Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Van Lith, SJ. Sekolah ini pindahan dari sekolah dari Lampersari dari Semarang. Ketika bersekolah, Soegijapranata dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, SJ dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci (OSC) di Uden, Belanda Utara, di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Rute perjalanan ke Belanda mulai dari Tanjung Priok - Muntok - Belawan - Sabang - Singapore - Colombo - Terusan Suez dan terus ke Amsterdam. Kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, SJ, yang kelak menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul prasetia yang pertama. 1923-1926 Belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastrich.
Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastrich. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940. Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, SJ, Vikaris Apostolik Batavia, menerima telegram dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh Cardinal Montini (kelak menjadi Paus Pius XII). Soegijapranata menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction".
Pada 6 November 1940 ia ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. AJE Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).
Pada tahun 1943, bersama Mgr. Willekens, SJ menghadapi penguasa pendudukan pemerintah Jepang dan berhasil mengusahakan agar Rumah Sakit St. Carolus dapat berjalan terus.
BINTARAN BERDUKA
PISAH SAMBUT ROMO TEJO DAN ROMO WONDO
Setelah kurang lebih 4 tahun bertugas di Paroki Bintaran, akhirnya Romo Tejo mendapat tugas baru dari Uskup Agung Semarang Mgr. I. Suharyo, untuk menjadi gembala di Paroki Bayutumumpang Magelang. Sebagai penggantinya adalah Romo Wondo, romo yang baru saja ditahbiskan pada tanggal 29 Juni 2009 yang lalu, acara pisah sambut dilaksanakan pada hari Minggu, 19 Juli 2009 bertempat di aula Bintaran. Selamat berkarya untuk kedua romo, semoga setia di jalan panggilan dan selalu dalam lindungan dan berkat Tuhan.
ANAK-ANAK MASA DEPAN GEREJA
Inilah anak-anak, harapan dan masa depan gereja. Dibawah naungan komunitas putra-putri altar Paroki St. Yusup Bintaran. Agenda rutin kegiatannya: Pertemuan rutin setiap minggu pertama dan ketiga, inagurasi untuk peserta baru satu tahun sekali, pelatihan setiap jumat sore dan lain-lain. Dengan didampingi oleh pendamping dari para biarawati khususnya para suster caritas dan PIJ serta para awam.
20/09/08
TEMA PESTA INTAN GEREJA BINTARAN
Rětnaning Rat Nayakaning Bawana
Manu J. Widyaseputra
Pengantar
Para Rama dan segenap umat yang berbahagia, tema yang dipilih untuk Perayaan 75 Tahun Gereja St. Yusup Bintaran tahun 2009 ( = Pesta Intan) adalah Rětnaning Rat Nayakaning Bawana. Tema ini demikian agung dan berumur panjang. Karena itu Rm. Agus dan panitia sempat mencetuskan gagasan barangkali rumusan tersebut nantinya bisa menjadi semacam sesanti yang terpateri pada bagian depan Panti Paroki setelah selesai dipugar. Untuk kepentingan kali ini panitia Pesta Intan memuat penjelasan tema secara ringkas yang disiapkan oleh Bapak Manu J. Widyaseputra, pakar sastra Jawa yang sehari-harinya menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta. Pak Manu adalah salah seorang Prodiakon Paroki Bintaran dan warga Lingkungan Don Bosco. Terima kasih Pak Manu untuk penjelasannya yang berharga. -Panitia Pesta Intan.
***
- Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai tataran yang berbeda. Rětnaning Rat lebih mengarah pada tataran Ilahi, sedangkan Nayakaning Bawana lebih mengarah pada tataran manusiawi.
- Hal itu dadasarkan pada pengertian: Rětna dalam Sěrat Ramabadra Jawi didudukkan sama dengan sūrya, ‘matahari’, yang dengan tejas-nya memberikan kehidupan kepada bumi. Tanpa adanya sūrya, bumi tidak akan pernah ada kehidupan, karena tejas matahari dapat menumbuhkan segala macam tumbuh-tumbuhan, mengatur peredaran air di bumi, memberi energi kepada semua makhluk hidup di bumi
- Nayaka dalam Sěrat Ramabadra Jawi menyarankan kehadiran Rama sebagai karakter yang akan berperan di bumi ini, ia tidak akan mati atau dibunuh sampai pada akhir naratif Sěrat Ramabadra Jawi. Kehadiran Rama yang semacam itu memberi pengertian bahwa Rama akan selalu hadir menembus ruang dan waktu (deśa dan kāla). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa Rama dikenal di segala macam tempat di bumi dari berbagai kurun waktu.
- Dalam kaitannya antara Rětna dan Nayaka dapat diperoleh pengertian bahwa kedua tataran makna itu saling berhubungan erat: sebagai Rětna, Rama berkedudukan sebagai sūrya di bumi, berarti ia memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi ini. Kalau sūrya memberi kehidupan dengan tejas, sementara Rama memberi kehidupan dengan dharma dan brata-nya. Kemudian sebagai Nayaka, Rama, yang memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi akan hadir mulai masa lalu, masa kini, dan masa mendatang di berbagai penjuru dunia. Kalau sūrya dengan tejas-nya menjadi pratistha di bumi, Rama juga menjadi pratistha di bumi ini dengan dharma dan brata-nya. Ia menopang bumi dengan kebajikan dan keteguhannya.
- Keberadaan Rama sebagai Rětna dan Nayaka di bumi selalu dilandasi oleh rasa, yang dinamakan karuna rasa. Ia hadir di bumi sebagai pratistha dalam suasana yang penuh keprihatinan, sekalipun anugerah yang diterimanya sangat besar dari Bathara Guru.
Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat Nayakaning Bawana
Ketika konsep Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana ini diterapkan untuk menyongsong Ulang Tahun Intan Gereja Santo Yusup Bintaran (2009), pengertian konseptual itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai peran di dalam dua tataran kehidupan pada waktu yang bersamaan, yakni tataran Ilahi dan tataran manusiawi. Semakin tinggi nilai Ilahi semakin besar pula rasa kemanusiaannya (semakin humanis). Keduanya memang harus seimbang sehingga terjadilah harmonisasi di berbagai tataran kehidupan umat di Paroki Santo Yusup Bintaran.
- Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat, artinya menjadi sūrya, ‘matahari’ yang dapat memberi kehidupan umat manusia dalam tataran Ilahi dan dalam tataran manusiawi. Ia memberi kehidupan dengan tejas-nya, yang dalam hal ini adalah pilar-pilar gereja: liturgi, pewartaan, communio, diakonia, martyria, managemen dan budaya. Melalui pilar-pilar itulah Gereja berperan dalam kancah kehidupan manusia secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan identitas yang dimiliki oleh umat manusia. Dalam konteks ini paling tidak umat yang ada di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.
- Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Nayakaning Bawana, artinya hadir di sepanjang waktu: masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Ia tidak akan mati atau berakhir dalam menembus ruang dan waktu, sekalipun pada masa kini terjadi budaya global yang lebih menekankan pada kehidupan materialistik. Sebagai nayaka Gereja Santo Yusup Bintaran memauli tejas-nya mampu melakukan proses adaptasi dan transformasi diri di dalam budaya hidup yang sekuler.
- Perannya sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana akan mendudukkan Gereja Santo Yusup Bintaran ini sebagai pratistha, ‘penopang, penyangga’ kehidupan umat manusia dari berbagai macam ruang (lapis-lapis masyarakat) dalam berbagai macam kurun waktu. Setiap ruang dan kurun waktu tentu memiliki karakteristik yang khas, sehingga tejas ini diharapkan mempunyai kemampuan untuk adaptasi dan transformasi demi harmonisasi. Namun tidak berarti bahwa Gereja Santo Yusup harus menjadi sekuler di era globalisasi, tetapi sebaliknya dengan tejas-nya ia “menjinakkan” gelombang globalisasi yang melanda, baik ruang maupun waktu dalam kehidupan manusia, khususnya di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.
Yogyakarta, Agustus 2008
Manu J. Widyaseputra
Langganan:
Postingan (Atom)
Sugeng Rawuh
Selamat datang di LoncengBintaran, media komunikasi dan informasi Paroki St. Yusup Bintaran-Yogyakarta