KOMSOS BINTARAN

KOMSOS BINTARAN

20/09/08

TEMA PESTA INTAN GEREJA BINTARAN

Rětnaning Rat Nayakaning Bawana

Manu J. Widyaseputra

Pengantar

Para Rama dan segenap umat yang berbahagia, tema yang dipilih untuk Perayaan 75 Tahun Gereja St. Yusup Bintaran tahun 2009 ( = Pesta Intan) adalah Rětnaning Rat Nayakaning Bawana. Tema ini demikian agung dan berumur panjang. Karena itu Rm. Agus dan panitia sempat mencetuskan gagasan barangkali rumusan tersebut nantinya bisa menjadi semacam sesanti yang terpateri pada bagian depan Panti Paroki setelah selesai dipugar. Untuk kepentingan kali ini panitia Pesta Intan memuat penjelasan tema secara ringkas yang disiapkan oleh Bapak Manu J. Widyaseputra, pakar sastra Jawa yang sehari-harinya menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta. Pak Manu adalah salah seorang Prodiakon Paroki Bintaran dan warga Lingkungan Don Bosco. Terima kasih Pak Manu untuk penjelasannya yang berharga. -Panitia Pesta Intan.

***
  1. Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai tataran yang berbeda. Rětnaning Rat lebih mengarah pada tataran Ilahi, sedangkan Nayakaning Bawana lebih mengarah pada tataran manusiawi.
  2. Hal itu dadasarkan pada pengertian: Rětna dalam Sěrat Ramabadra Jawi didudukkan sama dengan sūrya, ‘matahari’, yang dengan tejas-nya memberikan kehidupan kepada bumi. Tanpa adanya sūrya, bumi tidak akan pernah ada kehidupan, karena tejas matahari dapat menumbuhkan segala macam tumbuh-tumbuhan, mengatur peredaran air di bumi, memberi energi kepada semua makhluk hidup di bumi
  3. Nayaka dalam Sěrat Ramabadra Jawi menyarankan kehadiran Rama sebagai karakter yang akan berperan di bumi ini, ia tidak akan mati atau dibunuh sampai pada akhir naratif Sěrat Ramabadra Jawi. Kehadiran Rama yang semacam itu memberi pengertian bahwa Rama akan selalu hadir menembus ruang dan waktu (deśa dan kāla). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa Rama dikenal di segala macam tempat di bumi dari berbagai kurun waktu.
  4. Dalam kaitannya antara Rětna dan Nayaka dapat diperoleh pengertian bahwa kedua tataran makna itu saling berhubungan erat: sebagai Rětna, Rama berkedudukan sebagai sūrya di bumi, berarti ia memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi ini. Kalau sūrya memberi kehidupan dengan tejas, sementara Rama memberi kehidupan dengan dharma dan brata-nya. Kemudian sebagai Nayaka, Rama, yang memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk di bumi akan hadir mulai masa lalu, masa kini, dan masa mendatang di berbagai penjuru dunia. Kalau sūrya dengan tejas-nya menjadi pratistha di bumi, Rama juga menjadi pratistha di bumi ini dengan dharma dan brata-nya. Ia menopang bumi dengan kebajikan dan keteguhannya.
  5. Keberadaan Rama sebagai Rětna dan Nayaka di bumi selalu dilandasi oleh rasa, yang dinamakan karuna rasa. Ia hadir di bumi sebagai pratistha dalam suasana yang penuh keprihatinan, sekalipun anugerah yang diterimanya sangat besar dari Bathara Guru.
Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat Nayakaning Bawana

Ketika konsep Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana ini diterapkan untuk menyongsong Ulang Tahun Intan Gereja Santo Yusup Bintaran (2009), pengertian konseptual itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
  1. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana mempunyai peran di dalam dua tataran kehidupan pada waktu yang bersamaan, yakni tataran Ilahi dan tataran manusiawi. Semakin tinggi nilai Ilahi semakin besar pula rasa kemanusiaannya (semakin humanis). Keduanya memang harus seimbang sehingga terjadilah harmonisasi di berbagai tataran kehidupan umat di Paroki Santo Yusup Bintaran.
  2. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Rětnaning Rat, artinya menjadi sūrya, ‘matahari’ yang dapat memberi kehidupan umat manusia dalam tataran Ilahi dan dalam tataran manusiawi. Ia memberi kehidupan dengan tejas-nya, yang dalam hal ini adalah pilar-pilar gereja: liturgi, pewartaan, communio, diakonia, martyria, managemen dan budaya. Melalui pilar-pilar itulah Gereja berperan dalam kancah kehidupan manusia secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan identitas yang dimiliki oleh umat manusia. Dalam konteks ini paling tidak umat yang ada di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.
  3. Gereja Santo Yusup Bintaran sebagai Nayakaning Bawana, artinya hadir di sepanjang waktu: masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Ia tidak akan mati atau berakhir dalam menembus ruang dan waktu, sekalipun pada masa kini terjadi budaya global yang lebih menekankan pada kehidupan materialistik. Sebagai nayaka Gereja Santo Yusup Bintaran memauli tejas­-nya mampu melakukan proses adaptasi dan transformasi diri di dalam budaya hidup yang sekuler.
  4. Perannya sebagai Rětnaning Rat dan Nayakaning Bawana akan mendudukkan Gereja Santo Yusup Bintaran ini sebagai pratistha, ‘penopang, penyangga’ kehidupan umat manusia dari berbagai macam ruang (lapis-lapis masyarakat) dalam berbagai macam kurun waktu. Setiap ruang dan kurun waktu tentu memiliki karakteristik yang khas, sehingga tejas ini diharapkan mempunyai kemampuan untuk adaptasi dan transformasi demi harmonisasi. Namun tidak berarti bahwa Gereja Santo Yusup harus menjadi sekuler di era globalisasi, tetapi sebaliknya dengan tejas-nya ia “menjinakkan” gelombang globalisasi yang melanda, baik ruang maupun waktu dalam kehidupan manusia, khususnya di lingkungan Paroki Santo Yusup Bintaran.

Yogyakarta, Agustus 2008
Manu J. Widyaseputra

1 komentar:

bejo mengatakan...

Apakah ini ada korelasinya suryasengkala dan candradengkala?

Sugeng Rawuh

Selamat datang di LoncengBintaran, media komunikasi dan informasi Paroki St. Yusup Bintaran-Yogyakarta