Mengharapkan Bumi dan Langit Baru
Mgr. I. Suharyo, Pr
Beberapa tahun lalu saya melihat sebuah iklan terpampang di tempat yang amat strategis, di salah satu pintu masuk kota Yogyakarta. Iklan itu memuat gambar mulut orang yang terisi – mungkin lebih tepat dijejali – berbagai macam buah.
Mulut itu begitu penuh sampai kelihatan menganga amat lebar, hampir sobek. Saya bertanya dalam hati, masihkah itu disebut mulut? Iklan yang terpampang selama sekitar tiga tahun itu rupanya ingin mengatakan kepada orang-orang yang melihat, betapa enaknya produk makanan yang ditawarkan itu. Waktu saya melihatnya, dalam hati saya bertanya, bukankah iklan ini mencerminkan salah satu watak zaman, serakah?
Keserakahan inilah yang antara lain membuat Indonesia kehilangan julukan zamrud khatulistiwa, lalu menyandang sebutan baru sebagai negara penghancur hutan tercepat (Tempo, 41/XXXVI/3-9 Desember 2007). Keserakahan ini pula yang kiranya membuat Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali tidak mudah menghasilkan keputusan bersama. Keserakahan ini pula yang menempatkan Indonesia pada urutan ketiga paling rawan terkena dampak pemanasan global (Kompas, 12/12/2007, hlm. 13). Keserakahan itu tak hanya merusak Bumi, tetapi juga menjadikan manusia penyembah berhala. Menurut perspektif Kristiani, serakah sama dengan menyembah berhala (bdk. Ef 5:5).
Langit baru Bumi baru
Natal adalah peringatan kedatangan Yesus ke dunia lebih dari dua milenium lalu (Luk 2:1-8). Kedatangan Yesus juga diharapkan pada pemenuhan waktu, ketika Allah menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28). Namun, kedatangan Yesus tidak hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. “Hari ini”, Ia juga harus dilahirkan di tengah dunia nyata (Luk 2:11). Ketiga makna ini terkait harapan akan masa depan yang damai dan sejahtera. Beginilah Nabi Yesaya menubuatkan kedatangan Yesus, “…seorang anak telah lahir untuk kita… dan namanya disebutkan orang …Raja Damai…dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan…karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran” (9:5-6).
Zaman damai sejahtera itu digambarkan sebagai suatu harmoni alam semesta sebagaimana dinubuatkan oleh nabi yang sama, “serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing…anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, dan seorang anak kecil akan menggiringya…tidak ada yang akan berbuat jahat atau berlaku busuk…sebab seluruh Bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan” (Yes 11:6-9).
Pada zaman itu Bumi akan menjadi amat subur,” …pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran” (Am 9:13-14).
Rusaknya relasi antara Allah dan manusia serta antara manusia (bdk. Kej 11) akan diatasi. Demikian juga alam yang hancur karena kejahatan manusia (Kej 6-7) akan dipulihkan. Akan terwujudlah langit baru dan Bumi baru (bdk. Why 21:1-8). Nyatakah harapan itu?
Hidup dengan bijaksana
Ajakan untuk hidup bijaksana itu adalah bagian dari ajakan yang disampaikan dalam pesan Natal bersama oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berjudul “Hiduplah dengan Bijaksana, Adil, dan Beribadah”. Agar dapat hidup bijaksana, umat Kristiani diimbau supaya tekun mendengarkan firman Allah agar kebijaksanaan Ilahi meresapi pikiran dan hati.
Ajakan untuk hidup bijaksana itu adalah bagian dari ajakan yang disampaikan dalam pesan Natal bersama oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berjudul “Hiduplah dengan Bijaksana, Adil, dan Beribadah”. Agar dapat hidup bijaksana, umat Kristiani diimbau supaya tekun mendengarkan firman Allah agar kebijaksanaan Ilahi meresapi pikiran dan hati.
Dalam konteks Natal dan situasi aktual zaman ini, hati dan pikiran yang diresapi kebijaksanaan Ilahi menggerakkan orang untuk – baik sendiri-sendiri maupun bersama – ikut membangun langit baru dan Bumi baru sehingga harapan menjadi kenyataan.
Di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, seorang pemimpin komunitas iman mengembangkan Gerakan Masyarakat Cinta Air dalam rangka konsientisasi dan edukasi masyarakat akar rumput. Di Bantul, DI Yogyakarta, ada orang lain lagi yang selama 25 tahun menghutankan sekitar 400 hektar bukit kapur kritis serta membentuk sebanyak dua belas kelompok tani pencinta lingkungan (Kompas, 16/12/2007).
Pada tingkat global ada berita gembira, Peta Jalan Bali disepakati para peserta Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, termasuk AS.
Dalam perspektif Kristiani, itu semua adalah wujud kecil atau awal langit baru dan Bumi baru. Prakarsa seperti inilah yang antara lain diamanatkan khususnya kepada umat Kristiani yang merayakan Natal. Kalau demikian, perayaan Natal menjadi ibadah sejati dan bermakna, bukan sekadar ibadah basa-basi.
Selamat Natal 2007 dan Selamat Tahun Baru 2008.
(Sumber: Kompas, 24 Desember 2007, hlm. 1 dan 15).
Mgr. I. Suharyo, Pr
Mgr. I. Suharyo, Pr
Uskup Keuskupan Agung Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar