TERLIBAT,
Persembahan Terbaik bagi Dia
F.X. Agus S Gunadi, Pr
Mau Hebat, Ayo Terlibat
Bintaran, duapuluh lima Desember dua ribu tujuh. Persis di depan altar, di atas tempat duduk umat bagian depan, terpampang spanduk besar bertuliskan, “MAU HEBAT, AYO TERLIBAT!” Hurufnya besar-gemuk, pesannya amat tajam menusuk, dan peletakannya seolah-olah memaksa setiap orang untuk membacanya! Saya tidak tahu pesan itu untuk siapa, maksudnya untuk seluruh umat atau secara khusus ajakan untuk anak-anak dan remaja. Bukankah tahun 2008 ini Keuskupan Agung Semarang menetapkannya sebagai tahun anak dan remaja. Bagaimanapun juga, saya merasa senang membaca tulisan yang terpampang gagah itu. Luar biasa, gagasan yang brilian entah dari siapa yang empunya tulisan itu.
Sampai suatu ketika, salah seorang umat membisikkan kata-kata ini, “Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Wuih, kata ini jauh lebih tajam menghujam sanubari saya. Hati saya tergetar. Kata-kata itu menantang saya untuk mengoreksi kebanggaan saya selama ini! Ya ya ya, betul, bukankah sikap yang keliru kalau keterlibatan di Gereja itu untuk sebuah upah bernama kehebatan? Apalagi itu dikatakan oleh seseorang yang begitu rendah hati dalam kata dan tindakan, dan penuh tanggung jawab dalam perutusan iman! Saya malu dengan ketidakpekaan saya akan ungkapan spanduk tersebut. Uuntuk menghibur diri dan menutupi rasa malu itu saya mencoba mencari pembenaran: bukankah wajar keterlibatan berupah pada perasaan hebat, bukankah biasa bahwa orang ingin diakui perannya juga pada perkara iman dan hidup menggereja, bukankah… , bukankah…. Namun, semua itu hanyalah pembenaran. Jauh dalam lubuk hati , nurani berbisik: betul perkataan itu, terlibat bukan karena mau hebat! Inilah hadiah Natal terlindah untuk saya saat ini.
Bercermin pada Allah dan Abraham
Perayaan Natal ini begitu dekat dengan perayaan Idul Adha. Idul Qurban tanggal 20 Desember, Natal 25 Desember. Saya tergoda untuk menghubungkan keduanya. Supaya juga memberi pencerahan pada arah komunikasi iman dalam kemajemukan agama di tengah masyarakat kita. Ngiras pantes mencari titik temu kedua perayaan keagamaan tersebut. Apa sih relevansi Natal dan Adul Adha? Apa sih hakikat Natal? Mengapa Natal menjadi hari yang begitu istimewa bagi sebagian besar penduduk dunia? Apa bedanya dengan hari-hari atau perayaan-perayaan lain? Tuhan yang selama ini dipahami sebagai yang mahatinggi, tidak terjangkau, duduk di singgasana surga, kini rela menjelma menjadi seorang manusia. Bapa yang mahakuasa dan kekal, nun jauh di atas langit, mengambil pilihan untuk mencintai manusia dengan mengutus Putera-Nya ke dunia. Inilah hakikat sukacita Natal. Kemudian kita bertanya diri, siapakah saya, sehingga Tuhan sudi mencurahkan cinta dan kepedulian-Nya pada nasib saya manusia?
Tidak ada jawaban yang bersumber pada kebaikan kita. Bukan karena kita suci. Bukan juga karena rajin beribadah atau ziarah. Bukan pula karena kita seorang yang selalu terlibat dalam hidup berjemaat. Bukan, sama sekali bukan. Bahkan kelahiran dan penebusan Yesus bukan saja untuk kita, tetapi untuk dunia. Jadi, bahkan sukacita itu seharusnya meluap pada diri seorang yang telah 28 tahun tidak beribadah, mereka yang selama ini imannya “tidur”, mereka yang bahkan walau mengaku Katolik tetapi tidak utuh, karena melalaikan tradisi “ngaku dosa”. Jadi, sumber sukacita itu karena Allah. Tidak karena manusia. Allah mengambil pilihan dan keputusan untuk datang menebus dunia, seluruh umat manusia! Luar biasa bukan! Dengan itu, atas cinta-Nya yang murni, tanpa pamrih, Allah memberikan hadiah terbaik bagi umat manusia, yaitu pemberian diri-Nya sendiri untuk kita! Puji Tuhan.
Apa yang dirayakan dalam Idul Adha? Stop, jangan terpancing untuk berdebat dengan emosi fanatis tentang siapa sesungguhnya anak yang dikorbankan Bapa Abraham, Nabi Ibrahim! Mari kita renungkan bersama esensi perayaan itu sendiri. Seorang bapa, bapa orang beriman, bapa bagi jemaat Muslim, Yahudi, dan Kristen, mempersembahkan yang terbaik bagi Allah! Betul, mari masuk dalam relung renung kejujuran hati kita dan mulai bertanya: harta apa lagi yang lebih berharga bagi orang tua, kalau bukan anak yang amat dikasihinya. Apalagi kalau diingat bahwa itu adalah anak satu-satunya yang bahkan dijanjikan oleh Allah akan beranakpinak seperti pasir di samudra dan sebanyak bintang di langit! Abraham mempersembahkan pisungsung yang terbaik bagi Allah! Anak yang sungguh digadhang-gadhang, ketika diminta oleh Tuhan, dipersembahkannya dengan segala kerelaan dan ketakwaan seorang beriman.
Peristiwa Natal menjadi cermin bagi kita umat beriman tentang siapa Tuhan yang kita imani. Tuhan ternyata seorang Bapa yang mempunyai hati bagi umat manusia. Dia telah memberikan yang terbaik, teristimewa, kepada kita dengan mengutus Putera Tunggal-Nya menjelma menjadi manusia untuk tebusan bagi dosa-dosa kita. Sementara peristiwa Idul Adha adalah persembahan tulus seorang manusia yang sedemikian takwa kepada Allah. Yang dipersembahkan oleh Nabi Ibrahim adalah darah dagingnya sendiri. Yang terbaik, yang teristimewa, hanya bagi Tuhan. Inilah cermin hidup manusia. Inilah inspirasi bagi hidup kita sekarang ini.
Kalau hari-hari ini kita dihadapkan pada cermin bening cetha wela-wela persembahan Allah dan persembahan Abraham, setiap pribadi ditantang dengan pertanyaan: mau ke manakah arah peziarahan iman kita ke depan, memasuki tahun 2008?
Pisungsung Tanpa Pamrih
“Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Kata-kata ini sampai sekarang masih begitu jelas menggema dalam benak saya, merasuki seluruh jiwa saya, meresap sampai ke balung-sumsum saya. Mungkinkah kita melepaskan diri dari kultur yang begitu rekat dalam hidup masyarakat pada umumnya, yaitu pamrih? Memang, hampir dalam segala kegiatan, bahkan kalaupun itu kegiatan sosial, ada saja pamrih di baliknya! Mari dengan jujur metani diri sendiri, adakah sesuatu yang saya perjuangkan, saya gulati, saya libati, tanpa pamrih apa pun? Bahkan kalau itu kegiatan-kegiatan sosial keagamaan? Kalaupun pamrih itu bukan hal-hal material. Saya ibadah karena ingin masuk surga; berdoa karena ingin dikabulkan permohonannya; ziarah dan novena supaya keinginannya tercapai; kegiatan lingkungan supaya tidak terkucilkan; baik dengan tetangga supaya kalau ada apa-apa ada yang peduli; dan sebagainya.
Kalau mau jujur, hampir selalu saja ada pamrih, kalaupun pamrih itu tidak kita sadari. Betapa saya kecewa kalau dalam kepanitiaan saya dikatakan tidak becus. Saya tersinggung kalau dikomentari tidak sukses. Saya kecewa ketika orang mengatakan saya kurang siap membawakan acara. Saya sungguh menaruh harapan bahwa terhadap pekerjaan saya, orang akan mengatakan proficiat, selamat, sukses, dan kata-kata senada. Saya ternyata jauh dari tulus, jauh dari “bersih” tanpa pamrih.
Abraham dan Allah semestinya menjadi cermin bagi peziarahan iman kita. Dua hal yang bisa kita bawa sebagai bekal memasuki tahun 2008. Pertama, ada pekerjaan rumah yang ada di hadapan kita: membersihkan diri dari pamrih dalam keterlibatan hidup sosial dan gerejani! Kedua, mendorong diri untuk memberi “pisungsung” terbaik bagi Allah! Bersih dari pamrih, pastilah tidak mudah dan tidak harus sungguh sempurna. Bekerjalah sewajarnya dengan mengharapkan upah untuk hidup. Cintailah keluarga dengan sepenuh hati, syukur-syukur kita pun mendapatkan kelimpahan cinta dalam keluarga. Bangunlah persaudaraan dan persahabatan dalam hidup bermasyarakat, supaya hidup lebih nyaman. Namun, terutama dalam aktivitas iman gerejani, paksakanlah diri untuk menghindari pamrih, sekalipun sedikit apa pun!
Tentang pemberian pisungsung terbaik bagi Allah, wujudnya bisa bermacam-macam. Intinya adalah dalam segala pewujudan pisungsung itu, optimalkanlah ketulusan dan kebesaran hati dalam persembahan diri! Yang namanya memberi itu pastilah disertai dengan “kehilangan”. Pertanyaan introspeksi: adakah usaha misungsungke hidup kita kepada Allah sampai sekarang ini membuat saya merasa kehilangan sesuatu secara signifikan? Kalau belum, kita mungkin belum optimal mempersembahkan diri! Apakah kita sudah merasa berpayah-payah dalam mengabdi Tuhan dan sesama? Adakah kita sudah keronto-ronto memberi kesaksian tentang kebaikan Allah di tengah masyarakat? Adakah kita telah berpuasa dan matiraga menyisihkan hasil jerih payah kita untuk tegak berdirinya Bait Allah Gereja Bintaran yang di sana-sini butuh perbaikan akibat gempa?
Lepas Bebas
Muara dari seluruh pergulatan hidup melucuti diri dari pamrih adalah sikap lepas bebas! Artinya melepaskan diri dari segala pamrih, dalam keterlibatan hidup iman. Pamrih adalah upah. Kita tidak mau mendapatkan upah. Entah itu nama baik, sanjungan, apalagi hadiah. Kita ingin menjadi mawar. Seperti mawar yang menampilkan keindahan dan keharuman bukan saja untuk mereka yang mencintainya, namun juga bahkan untuk si pemetik jahat yang siap dengan pisaunya, demikianlah juga kita hendaknya!
Tentang itu ada teladan yang demikian dekat dengan kita. Mari kita kenang Rama FA. Martana Pr yang wafat 1.000 hari yang lalu. Dia adalah putra Bintaran, putra bapa Abraham leluhur kita. Semangat iman dan motto imamatnya kira-kira begini: “Dia harus semakin besar, aku harus semakin kecil. “ Itulah semangat Yohanes Pembaptis. Rama Martana menghidupi semangat itu secara sungguh-sungguh. Dia samasekali tidak haus pujian, sekecil apa pun. Dia menghindar dari segala publikasi. Bahkan mungkin kita yang separoki ini tidak kenal dengan dia. Dia bekerja, mengabdi, demi kebesaran nama Tuhan: Ad Maiorem Dei Gloriam. Sebagai seorang imam, dia memilih pekerjaan yang paling rendah, yang paling dihindari, yang paling hina! Semangat mati raganya luar biasa. Sampai hala-hal fisik, tidur di atas papan, makan sederhana, dan memilih pekerjaan yang paling dihindari orang. Pernah ketika menjadi pamong Seminari Menengah Mertoyudan, setiap siang dia membersihkan belasan lubang WC seminarisnya hanya dengan sikat tanpa gagang panjang! Dengan senang hati dia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menurut ukuran manusia tidak terhormat. Sekalipun amat potensial dalam banyak hal, dia memilih untuk melayani umat di pedalaman Kalimantan. Pada akhirnya, semangat menanggalkan ke-aku-an, semangat tanpa pamrih, semangat lepas bebas supaya hanya Allah dimuliakan, dipenuhi oleh Allah dengan anugerah salib-Nya, yaitu sakit kanker lidah yang mengantarnya menghadap Sang Khalik! Pada saat-saat menjelang akhir hidupnya, dalam derita yang amat sangat, semakin tampak kemuliaan Allah yang terpancar pada wajahnya yang selalu tersenyum tanpa pamrih itu!
Bapa Abraham, Rama Martana, Pak Warsa, Bu Bina, Mbak Yekti, Mas Markus, Dik Ari, Om Robert, kita semua, dipanggil untuk membawa tongkat estafet perutusan iman: Ad Maiorem Dei Gloriam. Bercermin pada pemberian diri Allah di satu sisi, dan pisungsung terbaik Abraham di sisi lain, mari kita berani membuat komitmen iman: mempersembahkan hidup yang terbaik bagi kemuliaan Allah. Tanpa pamrih, lepas bebas. Ayo terlibat, bukan karena mau hebat!
Tuhan memberkati.
Rama F.X. Agus Suryana Gunadi, Pr
Persembahan Terbaik bagi Dia
F.X. Agus S Gunadi, Pr
Mau Hebat, Ayo Terlibat
Bintaran, duapuluh lima Desember dua ribu tujuh. Persis di depan altar, di atas tempat duduk umat bagian depan, terpampang spanduk besar bertuliskan, “MAU HEBAT, AYO TERLIBAT!” Hurufnya besar-gemuk, pesannya amat tajam menusuk, dan peletakannya seolah-olah memaksa setiap orang untuk membacanya! Saya tidak tahu pesan itu untuk siapa, maksudnya untuk seluruh umat atau secara khusus ajakan untuk anak-anak dan remaja. Bukankah tahun 2008 ini Keuskupan Agung Semarang menetapkannya sebagai tahun anak dan remaja. Bagaimanapun juga, saya merasa senang membaca tulisan yang terpampang gagah itu. Luar biasa, gagasan yang brilian entah dari siapa yang empunya tulisan itu.
Sampai suatu ketika, salah seorang umat membisikkan kata-kata ini, “Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Wuih, kata ini jauh lebih tajam menghujam sanubari saya. Hati saya tergetar. Kata-kata itu menantang saya untuk mengoreksi kebanggaan saya selama ini! Ya ya ya, betul, bukankah sikap yang keliru kalau keterlibatan di Gereja itu untuk sebuah upah bernama kehebatan? Apalagi itu dikatakan oleh seseorang yang begitu rendah hati dalam kata dan tindakan, dan penuh tanggung jawab dalam perutusan iman! Saya malu dengan ketidakpekaan saya akan ungkapan spanduk tersebut. Uuntuk menghibur diri dan menutupi rasa malu itu saya mencoba mencari pembenaran: bukankah wajar keterlibatan berupah pada perasaan hebat, bukankah biasa bahwa orang ingin diakui perannya juga pada perkara iman dan hidup menggereja, bukankah… , bukankah…. Namun, semua itu hanyalah pembenaran. Jauh dalam lubuk hati , nurani berbisik: betul perkataan itu, terlibat bukan karena mau hebat! Inilah hadiah Natal terlindah untuk saya saat ini.
Bercermin pada Allah dan Abraham
Perayaan Natal ini begitu dekat dengan perayaan Idul Adha. Idul Qurban tanggal 20 Desember, Natal 25 Desember. Saya tergoda untuk menghubungkan keduanya. Supaya juga memberi pencerahan pada arah komunikasi iman dalam kemajemukan agama di tengah masyarakat kita. Ngiras pantes mencari titik temu kedua perayaan keagamaan tersebut. Apa sih relevansi Natal dan Adul Adha? Apa sih hakikat Natal? Mengapa Natal menjadi hari yang begitu istimewa bagi sebagian besar penduduk dunia? Apa bedanya dengan hari-hari atau perayaan-perayaan lain? Tuhan yang selama ini dipahami sebagai yang mahatinggi, tidak terjangkau, duduk di singgasana surga, kini rela menjelma menjadi seorang manusia. Bapa yang mahakuasa dan kekal, nun jauh di atas langit, mengambil pilihan untuk mencintai manusia dengan mengutus Putera-Nya ke dunia. Inilah hakikat sukacita Natal. Kemudian kita bertanya diri, siapakah saya, sehingga Tuhan sudi mencurahkan cinta dan kepedulian-Nya pada nasib saya manusia?
Tidak ada jawaban yang bersumber pada kebaikan kita. Bukan karena kita suci. Bukan juga karena rajin beribadah atau ziarah. Bukan pula karena kita seorang yang selalu terlibat dalam hidup berjemaat. Bukan, sama sekali bukan. Bahkan kelahiran dan penebusan Yesus bukan saja untuk kita, tetapi untuk dunia. Jadi, bahkan sukacita itu seharusnya meluap pada diri seorang yang telah 28 tahun tidak beribadah, mereka yang selama ini imannya “tidur”, mereka yang bahkan walau mengaku Katolik tetapi tidak utuh, karena melalaikan tradisi “ngaku dosa”. Jadi, sumber sukacita itu karena Allah. Tidak karena manusia. Allah mengambil pilihan dan keputusan untuk datang menebus dunia, seluruh umat manusia! Luar biasa bukan! Dengan itu, atas cinta-Nya yang murni, tanpa pamrih, Allah memberikan hadiah terbaik bagi umat manusia, yaitu pemberian diri-Nya sendiri untuk kita! Puji Tuhan.
Apa yang dirayakan dalam Idul Adha? Stop, jangan terpancing untuk berdebat dengan emosi fanatis tentang siapa sesungguhnya anak yang dikorbankan Bapa Abraham, Nabi Ibrahim! Mari kita renungkan bersama esensi perayaan itu sendiri. Seorang bapa, bapa orang beriman, bapa bagi jemaat Muslim, Yahudi, dan Kristen, mempersembahkan yang terbaik bagi Allah! Betul, mari masuk dalam relung renung kejujuran hati kita dan mulai bertanya: harta apa lagi yang lebih berharga bagi orang tua, kalau bukan anak yang amat dikasihinya. Apalagi kalau diingat bahwa itu adalah anak satu-satunya yang bahkan dijanjikan oleh Allah akan beranakpinak seperti pasir di samudra dan sebanyak bintang di langit! Abraham mempersembahkan pisungsung yang terbaik bagi Allah! Anak yang sungguh digadhang-gadhang, ketika diminta oleh Tuhan, dipersembahkannya dengan segala kerelaan dan ketakwaan seorang beriman.
Peristiwa Natal menjadi cermin bagi kita umat beriman tentang siapa Tuhan yang kita imani. Tuhan ternyata seorang Bapa yang mempunyai hati bagi umat manusia. Dia telah memberikan yang terbaik, teristimewa, kepada kita dengan mengutus Putera Tunggal-Nya menjelma menjadi manusia untuk tebusan bagi dosa-dosa kita. Sementara peristiwa Idul Adha adalah persembahan tulus seorang manusia yang sedemikian takwa kepada Allah. Yang dipersembahkan oleh Nabi Ibrahim adalah darah dagingnya sendiri. Yang terbaik, yang teristimewa, hanya bagi Tuhan. Inilah cermin hidup manusia. Inilah inspirasi bagi hidup kita sekarang ini.
Kalau hari-hari ini kita dihadapkan pada cermin bening cetha wela-wela persembahan Allah dan persembahan Abraham, setiap pribadi ditantang dengan pertanyaan: mau ke manakah arah peziarahan iman kita ke depan, memasuki tahun 2008?
Pisungsung Tanpa Pamrih
“Saya terlibat, tetapi bukan karena mau hebat.” Kata-kata ini sampai sekarang masih begitu jelas menggema dalam benak saya, merasuki seluruh jiwa saya, meresap sampai ke balung-sumsum saya. Mungkinkah kita melepaskan diri dari kultur yang begitu rekat dalam hidup masyarakat pada umumnya, yaitu pamrih? Memang, hampir dalam segala kegiatan, bahkan kalaupun itu kegiatan sosial, ada saja pamrih di baliknya! Mari dengan jujur metani diri sendiri, adakah sesuatu yang saya perjuangkan, saya gulati, saya libati, tanpa pamrih apa pun? Bahkan kalau itu kegiatan-kegiatan sosial keagamaan? Kalaupun pamrih itu bukan hal-hal material. Saya ibadah karena ingin masuk surga; berdoa karena ingin dikabulkan permohonannya; ziarah dan novena supaya keinginannya tercapai; kegiatan lingkungan supaya tidak terkucilkan; baik dengan tetangga supaya kalau ada apa-apa ada yang peduli; dan sebagainya.
Kalau mau jujur, hampir selalu saja ada pamrih, kalaupun pamrih itu tidak kita sadari. Betapa saya kecewa kalau dalam kepanitiaan saya dikatakan tidak becus. Saya tersinggung kalau dikomentari tidak sukses. Saya kecewa ketika orang mengatakan saya kurang siap membawakan acara. Saya sungguh menaruh harapan bahwa terhadap pekerjaan saya, orang akan mengatakan proficiat, selamat, sukses, dan kata-kata senada. Saya ternyata jauh dari tulus, jauh dari “bersih” tanpa pamrih.
Abraham dan Allah semestinya menjadi cermin bagi peziarahan iman kita. Dua hal yang bisa kita bawa sebagai bekal memasuki tahun 2008. Pertama, ada pekerjaan rumah yang ada di hadapan kita: membersihkan diri dari pamrih dalam keterlibatan hidup sosial dan gerejani! Kedua, mendorong diri untuk memberi “pisungsung” terbaik bagi Allah! Bersih dari pamrih, pastilah tidak mudah dan tidak harus sungguh sempurna. Bekerjalah sewajarnya dengan mengharapkan upah untuk hidup. Cintailah keluarga dengan sepenuh hati, syukur-syukur kita pun mendapatkan kelimpahan cinta dalam keluarga. Bangunlah persaudaraan dan persahabatan dalam hidup bermasyarakat, supaya hidup lebih nyaman. Namun, terutama dalam aktivitas iman gerejani, paksakanlah diri untuk menghindari pamrih, sekalipun sedikit apa pun!
Tentang pemberian pisungsung terbaik bagi Allah, wujudnya bisa bermacam-macam. Intinya adalah dalam segala pewujudan pisungsung itu, optimalkanlah ketulusan dan kebesaran hati dalam persembahan diri! Yang namanya memberi itu pastilah disertai dengan “kehilangan”. Pertanyaan introspeksi: adakah usaha misungsungke hidup kita kepada Allah sampai sekarang ini membuat saya merasa kehilangan sesuatu secara signifikan? Kalau belum, kita mungkin belum optimal mempersembahkan diri! Apakah kita sudah merasa berpayah-payah dalam mengabdi Tuhan dan sesama? Adakah kita sudah keronto-ronto memberi kesaksian tentang kebaikan Allah di tengah masyarakat? Adakah kita telah berpuasa dan matiraga menyisihkan hasil jerih payah kita untuk tegak berdirinya Bait Allah Gereja Bintaran yang di sana-sini butuh perbaikan akibat gempa?
Lepas Bebas
Muara dari seluruh pergulatan hidup melucuti diri dari pamrih adalah sikap lepas bebas! Artinya melepaskan diri dari segala pamrih, dalam keterlibatan hidup iman. Pamrih adalah upah. Kita tidak mau mendapatkan upah. Entah itu nama baik, sanjungan, apalagi hadiah. Kita ingin menjadi mawar. Seperti mawar yang menampilkan keindahan dan keharuman bukan saja untuk mereka yang mencintainya, namun juga bahkan untuk si pemetik jahat yang siap dengan pisaunya, demikianlah juga kita hendaknya!
Tentang itu ada teladan yang demikian dekat dengan kita. Mari kita kenang Rama FA. Martana Pr yang wafat 1.000 hari yang lalu. Dia adalah putra Bintaran, putra bapa Abraham leluhur kita. Semangat iman dan motto imamatnya kira-kira begini: “Dia harus semakin besar, aku harus semakin kecil. “ Itulah semangat Yohanes Pembaptis. Rama Martana menghidupi semangat itu secara sungguh-sungguh. Dia samasekali tidak haus pujian, sekecil apa pun. Dia menghindar dari segala publikasi. Bahkan mungkin kita yang separoki ini tidak kenal dengan dia. Dia bekerja, mengabdi, demi kebesaran nama Tuhan: Ad Maiorem Dei Gloriam. Sebagai seorang imam, dia memilih pekerjaan yang paling rendah, yang paling dihindari, yang paling hina! Semangat mati raganya luar biasa. Sampai hala-hal fisik, tidur di atas papan, makan sederhana, dan memilih pekerjaan yang paling dihindari orang. Pernah ketika menjadi pamong Seminari Menengah Mertoyudan, setiap siang dia membersihkan belasan lubang WC seminarisnya hanya dengan sikat tanpa gagang panjang! Dengan senang hati dia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menurut ukuran manusia tidak terhormat. Sekalipun amat potensial dalam banyak hal, dia memilih untuk melayani umat di pedalaman Kalimantan. Pada akhirnya, semangat menanggalkan ke-aku-an, semangat tanpa pamrih, semangat lepas bebas supaya hanya Allah dimuliakan, dipenuhi oleh Allah dengan anugerah salib-Nya, yaitu sakit kanker lidah yang mengantarnya menghadap Sang Khalik! Pada saat-saat menjelang akhir hidupnya, dalam derita yang amat sangat, semakin tampak kemuliaan Allah yang terpancar pada wajahnya yang selalu tersenyum tanpa pamrih itu!
Bapa Abraham, Rama Martana, Pak Warsa, Bu Bina, Mbak Yekti, Mas Markus, Dik Ari, Om Robert, kita semua, dipanggil untuk membawa tongkat estafet perutusan iman: Ad Maiorem Dei Gloriam. Bercermin pada pemberian diri Allah di satu sisi, dan pisungsung terbaik Abraham di sisi lain, mari kita berani membuat komitmen iman: mempersembahkan hidup yang terbaik bagi kemuliaan Allah. Tanpa pamrih, lepas bebas. Ayo terlibat, bukan karena mau hebat!
Selamat Natal 2007 dan Tahun baru 2008.
Tuhan memberkati.
Rama F.X. Agus Suryana Gunadi, Pr
adalah Pastor Kepala Paroki St. Yusup Bintaran, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar