Natal dan Kedamaian Lingkungan
Mgr. AM. Sutristnaatmaka, MSF
Rasanya kurang lengkap jika merayakan Natal tanpa hiasan pohon natal, palungan dalam goa, dan lampu-lampu. Dalam merayakan Natal, di mana pun, pernik-pernik itu tak pernah absen.
Pertanyaannya, apakah perayaan Natal bisa juga mengajak kita untuk berefleksi tentang makna iman yang menyentuh kedamaian lingkungan?
Dua ciri khas
Pohon Natal serta palungan dan kandang merupakan dua ciri khas penanda kelahiran Yesus. Tradisi pohon Natal konon dihubungkan dengan “Sandiwara Firdaus” yang sejak Abad Pertengahan dipentaskan di muka pintu gereja. Sejenis cemara dengan pelbagai hiasan itu layak ditampilkan karena pada musim dingin tetap hijau, menjadi simbol kehidupan; sementara pohon-pohon lain gugur daunnya, seirama dengan musim yang sedang berlangsung.
Palungan di kandang Betlehem merupakan ungkapan devosional, didasarkan Injil Lukas 2:6-20. Santo Fransiskus Asisi, pembela kaum miskin, pendendang “Kidung Matahari” amat menaruh perhatian pada satwa dan tetumbuhan. Dalam tradisi sesudahnya muncul doa, Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.
Paus Honorius III tahun 1223 memberikan izin kepada Fransiskus untuk menggambarkan misteri penjelmaan dengan menggunakan palungan, patung bayi Yesus, Maria, danYusuf, dilengkapi malaikat, gembala, domba, dan lainnya. Itulah kelengkapan perayaan peristiwa Natal, kelahiran Yesus dalam sejarah manusia.
Perayaan Natal juga menyentuh kedamaian lingkungan manakala dua ciri secara mendalam disadari maknanya. Sementara di sudut dunia lain terjadi peristiwa kelahiran “seorang bayi dibungkus lampin, terbaring di palungan,” dan di surga terdengar nyanyian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:12-14).
Lingkungan rusak
Salah satu masalah besar negara kita adalah merosotnya kualitas lingkungan hidup akibat meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta banyaknya bencana. Hal ini ditegaskan dalam laporan “STATUS Lingkungan Hidup Indonesia” yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Rusaknya lingkungan menjadi tanda tidak adanya kedamaian manusia dengan lingkungannya.
Perhelatan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali menegaskan status kerusakan lingkungan di tingkat internasional. Kian disadari, perubahan iklim berdampak menyengsarakan penduduk dunia. Tidak mengherankan, ketika musim hujan datang, banjir dan tanah longsor mengancam; ketika kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak tempat. Pelbagai usaha dilakukan untuk mencari sebab terjadinya perubahan iklim. Juga dipikirkan cara penanggulangannya meski hasilnya masih perlu ditunggu.
Setelah krisis beruntun, berbagai bencana muncul karena kerusakan lingkungan dan baru disadari perlunya memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Alam dieksploitasi dengan serakah sebagai bahan produksi, tanpa memperhatikan ekosistem. Solusinya, antara lain, dengan green production, produksi ramah lingkungan.
Namun, perusakan lingkungan terus berlangsung. Kasus pembalakan liar, pembabatan dan pembakaran hutan, menjadi pemicu rusaknya “paru-paru” dunia. Penambangan menghasilkan limbah beracun yang mencemari air sungai, dan menimbulkan perbagai macam penyakit. Bencana alam yang silih berganti: gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api, badai dan angin ribut, berdampak besar bagi lingkungan hidup. Air laut pasang pun menunjukkan dampak pemanasan global.
Kedamaian lingkungan
Perayaan Natal merupakan ungkapan sekaligus perwujudkan iman akan kasih Allah untuk umat manusia. Namun, jika iman masih direfleksi sebatas hubungan manusia dengan Tuhan, dan tak membawa serta orang beriman untuk melibatkan hidup sehari-hari termasuk di dalamnya alam sekitar dan lingkungan, maka manusia akan terperangkap dalam kesulitan yang kian besar. Memisahkan ungkapan iman dalam perayaan ibadat dan perwujudan nyata untuk sesama dan lingkungan tak lagi merupakan penghayatan dan pengamalan iman yang utuh dan lengkap.
Tepatlah bahwa perayaan Natal disertai bakti sosial, kunjungan ke penjara, panti asuhan, tempat pengungsian, dan lainnya. Itulah perwujudan kasih Allah dalam program kedatangan dan karya Yesus: “...Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin ...memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan orang-orang buta, membebaskan orang tertindas ...” (Lukas 4:18-19).
Perlu ditambahkan, dalam konteks zaman sekarang, refleksi iman (teologi) berkembang menjangkau kawasan lingkungan hidup. Jika kedamaian lingkungan terusik dan menimbulkan pemanasan global yang menyengsarakan, maka mata iman selayaknya tertuju kepada pemberitaan kabar baik tentang kedamaian lingkungan dan pembebasannya dari kerusakannya. Kita diingatkan pada kisah penciptaan, ketika segala sesuatu baru diciptakan Tuhan: tumbuh-tumbuhan berbiji, pohon-pohon, hewan, manusia, dan “semua itu sungguh amat baik adanya” (Kejadian 1-2).
Menciptakan harmoni kehidupan yang menyentuh semua unsurnya menjadi urusan tiap orang beriman dari semua agama. Kedamaian lingkungan menjadi keprihatinan dan kerinduan semua orang yang berkehendak baik. Perayaan Natal bisa menjadi momen pembangkit kesadaran untuk berusaha memperbaiki lingkungan dari kerusakannya; sekaligus memberi pengharapan bahwa Allah yang penuh kasih tak akan menyia-nyiakan usaha manusia. Natal bisa memperbarui visi-misi umat beriman untuk mengungkapkan imannya akan Tuhan dengan meningkatkan martabat manusia dan mengusahakan kedamaian lingkungan. Partisipasi dalam penanaman dan pemeliharaan pohon dan usaha-usaha lain untuk memperbaiki lingkungan hidup bisa menjadi penghayatan dan pengamalan iman dalam merayakan Natal kali ini. (Sumber: Kompas, 24 Desember 2007, hlm. 6).
Mgr. AM. Sutristnaatmaka, MSF
Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar