Garam akan bermanfaat jika dia telah meleburkan diri ke dalam sebuah masakan. Dengan kuantitas yang hanya sedikit namun dengan takaran yang pas, garam akan melezatkan masakan. Garam tidak akan bermanfaat jika dia terus-menerus hanya menggumpalkan dirinya dan terbuai kenyamanan dalam kebersamaan dengan komunitasnya terlebih jika malah terbuai angan-angan akan manfaat yang nantinya dia berikan bagi sebuah masakan.
Begitu juga dengan Gereja, dengan menyadari bahwa hidup di tengah masyarakat mengemban tugas perutusan dari Allah untuk sanggup menjadi garam bagi dunia maka Gereja juga harus sanggup meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat untuk menyebarkan nilai-nilai Kristiani sehingga dapat tercipta citarasa baru bagi lezatnya kehidupan masyarakat sekitar kita. Sebagai garam yang lebur di dalam masakan tentu akan mengingkari kebiasaan banyak orang yang selalu ingin dipuji sebagai sosok yang berjasa, namun demikian kita tetap harus bisa menciptakan masakan yang lezat. Dengan berusaha lebih mendalami ajaran-ajaran Kristus dan memahami setiap tugas yang kita emban dalam kehidupan bermasyarakat niscaya kita akan dapat melihat dengan jernih bahwa kini bukan saatnya lagi kita berbangga diri jika hanya sanggup menggumpalkan diri dalam komunitas-komunitas intern gereja.
Nostalgia-nostalgia akan banyaknya umat yang aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja beberapa waktu lalu tentu bukan menjadi alasan untuk melahirkan penyesalan jika saat ini umat terlebih kaum mudanya tidak begitu hobi untuk berkegiatan dalam lingkup intern gereja. Penyesalan-penyesalan tiada guna jika hanya berhenti pada pemban-dingan sebuah fenomena dalam kacamata masa yang berbeda tanpa adanya koreksi guna perbaikan ke depan. Zaman telah berubah dan menurut Rm. Agus, kegiatan kegerejaan hanyalah satu di antara sekian banyak (kegiatan) yang seringkali jauh lebih menarik dan “mengembangkan”. Namun demikian jika Gereja mau dan mampu membenahi diri maka keprihatinan Rm. Tom Jacob, SJ akan fenomena yang dialami Gereja di Belanda yang seakan semakin ditinggalkan umatnya tidak lagi terjadi minimal tidak dialami Gereja di Indonesia khususnya Gereja St. Yusuf Bintaran Yogyakarta.
Gereja tentu menyadari bahwa dalam menjalani hidup ini umat mengemban tugas yang beraneka macam dan tidak hanya berhenti pada kegiatan-kegiatan di sekitar altar gereja sehingga pola penggembalaan umat dimana kegiatan di sekitar altar gereja yang dijadikan tolak ukur keberhasilannya sekiranya pantas dipertimbangkan kembali. Komunitas-komunitas yang ada saat ini memang masih cukup relevan sebagai sarana penggembalaan. Namun, Gereja juga harus berani masuk lebih dalam lagi guna melakukan pendampingan pada komunitas-komunitas umat dengan lebih mendasarkan pada FUNGSI atau tugas yang diemban umat dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak sebatas tugas yang diemban dalam kegiatan-kegiatan di sekitar altar atau bahkan sebatas pendampingan berdasarkan kategorial umat yang terhimpun dalam sebuah komunitas seperti yang banyak terjadi saat ini, misalnya dengan mendirikan komunitas anak-anak, muda-mudi, bapak-bapak, ibu-ibu, dan lain sebagainya tanpa menyentuh sama sekali tugas yang diemban umat selain keikutsertaannya secara aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekitar altar. Kini Gereja harus lebih mengefektifkan pendampingan pada komunitas-komunitas FUNGSI seperti komunitas pelajar, mahasiswa, karyawan, seniman, petani, pedagang dan lain sebagainya sehingga umat yang didampingi dapat menjalankan tugas yang diemban di tengah masyarakatnya sesuai dengan nilai-nilai kristiani. Namun demikian Gereja harus membatasi diri hanya dalam penanaman spritualitas tanpa harus masuk ke dalam areal praksis karena akan lebih efektif jika areal praksis ditangani lembaga lain yang lebih berkompeten. Dari sini diharapkan pelaksanaan tugas yang diemban umat yang tentu saja sesuai dengan nilai-nilai kristiani akan membuat kehidupan di sekitarnya lebih lezat walau tanpa harus menonjolkan kekristenannya. Alangkah indahnya jika nilai-nilai kristiani dapat dicerna masyarakat dengan memperhatikan karya kita di tengah mereka tanpa harus kita tonjolkan baju kekristenan yang kita pakai yang terkadang malah mengisolir kita.
Untuk mengerti tugas yang diberikan diperlukan komunikasi secara aktif dengan Sang Pemberi Tugas yaitu Allah sendiri. Hal ini dapat kita lakukan melalui doa, meditasi olah batin terlebih dengan mengikuti Perayaan Ekaristi. Dengan mengikuti Perayaan Ekaristi kita juga akan lebih mendalami ajaran-ajaran Kristus melalui sabda-sabda-Nya yang kita dengarkan , terlebih kita akan menerimakan tubuh dan darah-Nya sendiri. Dan seperti seruan Imam pada Pengutusan yang mengatakan,” Marilah pergi. Kita diutus.” Di sini tentu kita sadari sebagai wujud penyatuan sikap Gereja bahwa tugas perutusan yang diberikan Allah tidak hanya berhenti dalam kegiatan di sekitar altar. Kita harus pergi guna menjalani hidup dan melaksanakan kehendak-Nya. Layaknya seorang utusan tentu kita juga harus mampu mencerminkan pribadi Sang Pemberi Utusan. Jika kita telah mampu menjalani tahapan hidup seperti ini ketika segala yang kita jalani kita sadari sebagai kehendak Allah bukan lagi kehendak kita sendiri tentu akan kita dapatkan kedamaian karena kita akan selalu mengalami peristiwa perjumpaan dan kebersamaan dengan Allah, tahap inilah Sorga dan puncak hidup orang beriman. Dari sini penulis melihat bahwa Perayaan Ekaristi akan lebih pantas menjadi dasar dan bukanlah puncak dari hidup orang beriman.
Dengan menjalani hidup yang men-dasarkan pada ajaran-ajaran Kristus seperti yang selalu kita dalami bersama terlebih saat mengikuti Perayaan Ekaristi maka umat sebagai seorang anggota Gereja tentu akan selalu rindu untuk hadir dan mengikuti secara aktif Perayaan Ekaristi yang dilaksanakan. Dengan tertanamnya kerinduan ini diharapkan mampu meminimalisir rusaknya iman Gereja oleh kencangnya arus sekularisme yang melanda dunia saat ini seperti yang ditakutkan berbagai kalangan selama ini.
Seiring dengan cepatnya perubahan zaman, Gereja diharapkan juga cepat berbenah diri, mengkoreksi, dan tidak ragu-ragu untuk lebih meluruskan pandangan dan pola penggembalaan yang sekiranya kurang bahkan tidak relevan lagi untuk tetap dipertahankan. Kita diutus Allah sebagai garam bagi dunia yang melebur namun tetap hidup dan sanggup berjuang bersama masyarakat sehingga sungguh-sungguh mampu mewujudkan “100 % GEREJA 100 % NEGARA “. AMIN.
Salam Damai Kristus
HENRICUS TEGUH MARTANTO
Lingkungan Nikolas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar